Kamis, 16 Juli 2015
SEJARAH AWAL PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
A. Pendahuluan
Dewasa ini kehidupan ekonomi telah menjadi standar kehidupan individu dan kolektif suatu negara-bangsa. Keunggulan suatu negara diukur berdasarkan tingkat kemajuan ekonominya. Ukuran derajat keberhasilan menjadi sangat materialistik. Oleh karena itu, ilmu ekonomi menjadi sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Namun demikian, pakar ilmu ekonomi sekaliber Marshal menyatakan bahwa ke-hidupan dunia ini dikendalikan oleh dua kekuatan besar; ekonomi dan keimanan (agama). Demikian juga peradaban Islam yang gemilang di masa silam tidak mungkin terwujud tanpa dukungan kekuatan ekonomi dan ilmu ekonominya. Kini kita perlu mengabungkan dua kekuatan kehidupan hidup manusia sebagaimana dinyatakan Marshal untuk disatukan dalam apa yang kita sebut membangun pemikiran dan disiplin ekonomi Islam dalam kerangka kerja pembangunan sosial budaya dan politik. Pentingnya membangun pemikiran ekonomi syari’ah didasarkan, selain argumen-tasi di atas, masih ada dua argumentasi utama:,
Argumentasi teologis yang menyatakan bahwa Islam adalah agama samawi yang berdasarkan wahyu (Al-Qur’an) yang berfungsi untuk membimbing kehidupan umat manusia, baik sosial, politik, maupun ekonomi. (Q.S. Al-Baqarah: 2, 185) “criterion” (al-furqan) pembeda antara yang hak dan yang batil (Q.S. al-Furqan: I) menjelaskan aturan hukum yang terinci (Q.S. Hud:I); Islam adalah agama yang sempurna yang merupakan karunia Tuhan (Q.S. al-Maidah:3). 2. Argumentasi filosofis empiris dan faktual. Pertama, ada kesenjangan dan kelangkaan litelatur di bidang ilmu ekonomi yang dapat menjelaskan filsafat, kelembagaan, prinsip, nilai, norma dan hukum ekonomi Islam; ke-dua, kenyataan menunjukkan diperlukan perkembangan ekonomi bagi negara-negara Islam. Dewasa ini kebanyakan dunia Islam masih tergolong negara berkembang bahkan terbelakang dilihat dari ukuran dan kriteria kekayaan, lapangan kerja, pendidikan dan keseha-tan. Suatu kenyataan yang bertolak belakang dengan doktrin, nilai serta norma Islam itu sendiri.
Membangun pemikiran ekonomi syari’ah hendaklah moderat. Tidak ke barat dan tidak pula ke timur. Perlu membuat sintesa dari dua kekuatan aliran ekonomi yang positif-nya dengan semangat dan api akidah dan syari’ah Islam.
B. Nabi Muhammad: Perumus Pertama Ekonomi Syari’ah
Tidak diragukan lagi bahwa nabi muhammad saw adalah pemikir dan aktivis pertama ekonomi syari’ah bahka sebelum ia diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Pada zamannya telah dikenal pada transaksi jual beli serta perikatan atau kontrak (al-buyu wa al-‘uqu’d). Disamping, sampai batas-batas tertentu, telah dikenal pula bagaimana mengelola harta kekayaan negara dan hak rakyat di dalamnya. Berbagai bentuk jual beli dan kontrak termasuk telah diatur sedemikian rupa denga cara menyerap tradisi dagang dan perikatan serta penye-suaian dengan wahyu, baik al-Qur’an maupun sunnah. Bahkan lebih jauh lagi, sunnah rasul telah mengatur berbagai alat transaksi dan teori pertukaran dan percam-puran yang melahirkan berbagai istilah teknis ekonomi syari’ah serta hukumnya, seperti al-buyu’, al-uqud, al-musyarakah, al-mudlarabah, al-musaqah, dll. Sementara para aktivis awal di bidang ini adalah para sahabat Rasul sendiri.
Pemikiran ekonomi mendasar yang di-kemudian hari disebut teori pertukaran dan teori percampuran (the theori of exchange dan the theory of venture) telah digariskan oleh Rasulullah. Ladasan pertukaran barang dan jasa yang merupakan salah satu inti kegiatan ekonomi terdiri dari dua pilar: Pertama, obyek pertukaran yang dalam fiqh dibedakan jenisnya, yakni” ‘aen (real assets) berupa barang dan jasa; dan dayn (financial assets) berupa uang dan, sekarang dalam bentuk, surat berharga. Kedua, waktu pertukaran, yakni dalam bentuk naqdan (immediate delevery) yakni penyerahan pada saat itu atau ghayru nadhn (penyerahan kemudian). Ada tiga jenis pertukaran jika dilihat dari segi obyeknya, yakni ‘ayn bi ‘ayn, ‘ayn bi dayn; dan, dayn bi dayn.
C. Penggagas dan Aktivis Ekonomi Syari’ah
Suatu survey pemikiran ekonomi syari’ah berhasil menyusun penggagas, pemikir dan aktivis ekonomi Islam secara kronologis, walaupun belum begitu memadai. Berikut di bawah ini disajikan beberapa penggagas dasar ilmu ekonomi syari’ah melambangkan perkembangan pemikiran ekonomi syari’ah sekaligus.
Zaid bin AH (80-120 H. /699-738 M)
Zaid adalah penggagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.
Abu Hanifah (80-120H//699-767M)
Abu Hanifah lebih di kenal sebagai imam madzhab hukum yang sangat rasional dan dikenal sebagai penjahit pakaian atau taylor dan pedagang dari Kufah, Iraq, ia menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay’ al-salam dan murabahah.12
Al-Awza’i (88-157H./707-774M.)
Nama lengkapnya abdurahman al-awza’I yang berasal dari beirut, Libanon dan hidup sezaman dengan abu hanifah. Ia adalah penggagas orisinal dalam ilmu ekonomi syari’ah. Gagasan-gagasannya, antara lain, kebolehan dan kesahihan sistem murabahah sebagai bagian dari bentuk murabahah dan membolehkan peminjaman modal, baik dalam bentuk tunai atau sejenis.
Imam Malik Bin Anas (93 -179H./712-796.)
Imam malik lebih dikenal sebagai penulis pertama kita hadits al-muwatha’, dan imam madzhab hukum. Namun, ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang ekonomi, seperti: Ia menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya. Para penguasa harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istilah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkannya mengandung analisis nilai kegunaan teori utility dalam filsafat barat yang kemudian hari diper-kenalkan oleh Jeremy Benthan dan John Stuart Mill. Disamping itu, ia pun tokoh hukum Islam yang mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi terpenuhi-nya kebutuhan bersama.
Abu Yusuf (112-182H./731-789H.)
Abu Yusuf adalah seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan penggalian jabatannya (al-qadli/hakim) Abu Yusuf ya’qub ibrahim dan dikenal per-hatiannya atas keuangan umum serta perhatiannya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan pertanian. Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni kitab al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian. Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantamya, ditulis atas permintaan dari penguasa pada zamannya, yakni khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpa rakyanya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat waal-jawali (jizyah). Tulisan Abu Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan manajemen pemerintahan dalam rangka poelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejah-terakan mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada tanggung jawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. la adalah peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli ekonomi sebagai canon of taxation. Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada pandangannya yang menentang pengendalian harga atau tas’ir, yakni penetapan harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyah memperjelas secara lebih rinci intervensi pemerintah dalam mekanis-me pasar. Hanya saja, ia mempertegas kapan tas’ir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan pemerintah wajib melakukannya.
Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H/774-738M)
Pembahasan ekonomi syari’ah dalam karya Abu ‘Ubayd, al-amwal diawali dengan enam belas buah hadis di bawah judul haqq al’ima’m ‘ala al-ra’iyyah, wa haqqa al-ra’iyyah ala al-imam (hak pemerintah atas rakyatnya dan hak rakyat atas pemerintahannya). Buku ini dapat digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang ilmu ekonomi syari’ah karena sistematika pembahasannya dengan merekam sejumlah ayat al-Qur’an dan hadis di bidangnya. Bab pertama dalam buku ini, umpamanya, diawali dengan mengutip hadis yang menyatakan bahwa agama itu adalah kritik: al-din al-nshl’hat; dikenal hadis yang menyatakan bahwa setiap orang adalah “pengembala” yang bertanggung jawab atas gembalaannya yang secara tegas dicontohkan; seorang pemimpin adalah pengembala dan bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya; seorang pekerja pengembala harta tuannya dan bertanggung jawab atasnya. Kemudian ia pun mengutip sejumlah hadis tentang pemimpin yang adil dan fajir. Pemimpin yang adil adalah yang melaksanakan amanat kepemimpinannya, taat kepada hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya se-hingga ia berhak
Mendapat ketaatan dari rakyatnya; akhirnya ia pun mengutip atsar sahabat yang mengingatkan kepada kaum muslimin agar selalu berdzikir kepada allah menetapkan dan memutuksna hukum. Abu ‘Ubayd seolah-seolah ingin menyatakan bahwa masalah ekonomi tak terpisahkan dari tanggung jawab pemerintah atau penguasa. Dengan kata lain, ilmu ekonomi syari’ah adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu hukum ketatanegaraan. Sedangkan pada bab-bab berikutnya ia menjelaskan anekajenis harta yang dikuasai negara berdasarkan rujukan al-Qur’an dan sunnah. Kitab ini, jika dilihat dari teknis penulisan-nya dengan mengutamakan pengutipan hadis-hadis dan ayat-ayat al-Qur’an, mirip dengan kitab fiqh atau hukum Islam pertama karya imam Malik, al-muwatha’, yang isinya adalah koleksi hadis-hadis yang bertajuk dan perunjuk hukum Islam.
Abu Hamid AI-Ghazali (1059-1111)
Tokoh lebih dikenal sebagai sufi dan filosof serta pengkritik filsafat terkemuka ini melihat bahwa uang bukanlah komoditi, melainkan alat tukar (medium of exchange).
Tusi (1201-1274)
Tusi adalah penulis buku dalam bahasa Persia, Akhlak-i-nasiri yagn menjelaskan bahwa: apabila seseorang hams tetap menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya sendiri, tentu dia tidak akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan yang cukup untuk jangka lama. Akan tetapi, karena orang bekerja sama dengan lainnya dan setiap orang melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya sehingga mereka menghasilkan konsumsi yang lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Keadilan hukum pun mengendalikan pertukuran produk barang-barang yang menjamin ketersediaannya untuk semua orang. Dengan demikian, Tuhan dengan segala kebijaksanaan-Nya, membedakan aktivitas dan cita rasa orang sedemikian rupa, sehingga mereka mung-kin melakukan pekerjaan yang berbeda-beda untuk saling membantu. Perbedaan-perbedaan inilah yang melahirkan struktur internasional dan sistem ekonomi umat manusia. Maka terjadilah kerjasama timbal balik. Timbulah berbagai bentuk kontrak sosial.
Ibnu Taimiyyah (1262-1328)
Ibnu Tamiyyah dalam kitabnya, al-siyasa’t al-syari’ah fi’ ishla’h al-ra-iy wa al-ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraaan rakyat yang ia sebut ada’ al-Ama ‘nat ‘t ila’ Ahliha’. Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatannya menjadi bagian dari seni olah negara (al-Siya’sa’i al-Syar’iyyah) pengertian siyasah al-Dusturiyyah maupun al-Siyasa’i al-Ma’liyyah (politik hukum publik dan privat). Sedangkan dalam karya lainnya, al-Hisbah fi’ al-Isla’m lebih menekakankan intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar’ pengawasan pasar, hingga akuntansi yang erat kaitannya dengan sistem dan prinsip zakat, pajak, dan jizyah. Dengan demikian, seperti halnya Abu ‘Ubayd, nampakanya Ibn Taimiyyah mempunyai kerangka pikir yang sejalan dalam pendapat yang menyatakan bahwa ekonomi syari’ah, baik sistem maupun hukumnya merupakan bagian yang tak terspisahkan dari sistem pemerintahan dan katatanegaraan.
Ibn Khaldun (1332-1406)
Cendikiawan yang beraasal dari Tunisia ini lebih dikenal sebagai Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatiannya dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya, al-muqadimah, tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia membahasnya secara berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu sosial jauh lebih luas daripada definisi Tusi. Ia dapat melihat dengan jelas hubungan antara ilmu ekonomi dengan kesejahteraan manusia. Referensi filosofisnya yang merujuk kepada “ketentuan akal dan etika” telah mengantarnya kepada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi adalah pengetahuan normatif dan sekaligus positif. Terminologi jumhur yang berarti massa yang digunakannya menunjukkan bahwa mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan massa, bukan individu. Individu adalah bagian dari jumhur. Hukum ekonomi dan sosial berlaku pada massa, bukan pada individu yang terkucil. Ia melihat hubungan timbal balik antara faktor-faktor: ekonomi, politik, sosial, etika, dan pendidikan. Ia pun mengetengahkan gagagasan ilmu ekonomi yang sangat mendasar, yakni; pentingnya pembagian kerja, pembakuan terhadap sumbangan kerja terhadap teori nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk, pem-bentukkan modal, lintas perdagangan, sistem harga dsb. Pemikirannya kiranya dapat disejajarkan dengan penulis klasik sekaliber Adam Smith, Ricardo, Malthus dan penulis neo klasik sekaliber Keynes.
Al-Mawardi (w.450H.)
Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyyah, adalah pakar dari kubu Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa insitusi negara dan pemerintah bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urusan spiritual dan temporal (li hara’sat al-di’n wa al-umu al-dunyawiyyah). Jika kita amati, persyaratan-persyaratan kepada negara dalam karyanya, maka akan segera nampak bahwa tugas dan flingsi pemerintah dan negara yang dibebankan di atas pundak kepala negara adalah untuk mensejah-terakan (al-falah) rakyatnya, baik secara spiritual (ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual (privat: hak Adami) secara berimbang dengan hak Allah atau publik. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan atas harta perniagaan, produksi barang dan jasa, distribusi serta konsumsi-nya yang kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.
D. Pergeseran Pemikiran ke Pergerakan Ekonomi Syari’ah
Ilmu ekonomi Islam adalah suatu yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah suatu ilmu yang tumbuh dan menjadi gerakan per-ekonomian Islam sejak seperempat abad yang lalu. Namun demikian, pergeseran orientasi dari pemikiran ekonomi ke gerakan tak terpisahkan dari hapusnya institusi khilafah tahun 1924 dan upaya menghidupkannya kembali yang gagal hingga terbentuknya Organisasi Konferensi Islam. Dengan kata lain, salah satu produk penting yang menyertai kelahiran OKI adalah terpicunya pemikiran ekonomi Islam menjadi gerakan perekenomian Islam. Gerakan itu ditandai dengan diseleng-garakan konferensi ekonomi Islam secara teratur. Pemantapan hati m anggota OKI untuk mengislan mi negaranya masing-masii setelah konferensi ekonomi Isli diselenggarakan di Islamab* bulan Maret 1983. hasilnya pemerintahan Islam sudah departemen atau fakultas ekon universitas-universitas mereka sudah mulai meng-Islamkan lembaga perbankan mereki ekonomi syari’ah adalah membentuk sistem ekonomi yang mencakup semua aspi sebagaimana didefinisikan Chapra dalam, The Future oj Namun demikian, dewasa bahwa ekonomi Islam itu id konsep tentang sistem kei perbankan Islam. Kecenderungan dipengaruhi oleh beberapa fa pertama, perhatian utama di para ulama dan cedekiawan m transaksi nonribawi sesuai ] Qur’an dan sunnah; kedua, pa minyak 1974 dan 1979 dar Syekh Zakki Yamani, meteri Arab Saudi untuk melakuk minyak sebagai senjata ( dalam menopang perjuanga Tindakan ini ternyata memili pisau. Pertama, barat menyad dunia Islam yang dapat kehidupan ekonomi barat; penjualan minyak dunia Islam telah melahirkan kekuata negara-negara Islam di kav Tengah, Afrika Utara dan As Negara-negara itu menjadi i dolar yang menimbulkan pen “memutar-kan” uang yang n melalui lembaga keuangan syariah
Mengiringi kondisi obyektif di atas perkembangan pemikiran di bidang ilmu ekonomi syari’ah menjadi gerakan pem-bangunan SEI semakin terpacu dan tumbuh disertai dengan faktor-faktor lain yang mendahuluinya, yaitu:
Pertama, telah terumuskannya konsep teoritis tentang bank Islam pada tahun 1940-an; kedua, lahirnya ide dan gagasan mendirikan bank Islam dalam keputusan konferensi negara-negara Islam se-dunia bulan April 1968 di Kuala Lumpur; ketiga, lahirnya negara-negara Islam yang melim-pah petro dolarnya. Maka, pendirian bank Islam menjadi kenyataan dan dapat dilaksanakan tahun 1975.
E. Gerakan Ekonomi Melalui Pendirian Bank Syari’ah
Praktek perbankan di zaman rasulullah dan sahabat telah terjadi karena ada lembaga-lembaga yang telah melaksnakan fungsi-fungsi utama operasional perbankan, yakni: 1) menerima simpanan uang, 2) meminjamkan uang atau memberikan pembiayaan dalam bentuk mudlarabah, musuyarakah, muzara’ah dan musaqah; 3) memberikan jasa pengiriman atau transafer yang istilah-istilah fiqh di bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah teknis perbankan modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq yang dalam bahasa bahasa inggris dengan sedikit perubahan menjadi check atau cheque dalam bahasa Prancis.
Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksn akan oleh perbankan telah dilaksanakan
zaman rasulullah hingga Abbasiyyah. Istilah bank tidak dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanakan fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syari’ah. Fugsi-fungsi itu di zaman rasulullah dilaksanakan oleh satu orang yang melaksanakan satu fungsi saja.
Sedangkan pada zaman Abbasiyyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaknsakan oleh satu individu saja. Perbankan berkembang setelah munculnya beraga jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang beragam. Dengan demikian, diperlukan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu disebut naqid, sarraf, dan jihbit yang kemudian menjadi cikal bakal praktek pertukaran mata uang atau money changer. Peranan bankir pada masa Abbasiyyah mulai populer pada pemerintah khalifah Al-Muqtarid (908-932). Sementara itu, saq (cek) digunakan secara luas sebagai media pembayaran. Sejarah perbankan Islam mencatat Saefudaulah Al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).
Megingat penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk menggerakkan roda perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi Islam. Pertengahan tahun 1940-an Malaysia mencoba membuka bank non bunga, namun tidak sukses. Ahkir tahun 1950-an Pakistan mencoba mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji coba yang realtif sukses dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamer Local Saving Bank tahun 1963 yang disambut baik oleh para petani dan masya-rakat pedesaan. Namun, keberhasilan ini terhendi karena masalah politik, yakni intervensi pemerintah Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr diambil alih oleh national bank of Egypt dan Sentral Mesir (1967). Baru pada masa rezim Anwar sadat (1971) sistem nirbunga dihidupkan kembali dengan dibukanya nasser Social bank. Keberhasilan di atas mengilhami para petinggi OKI hingga akhirnya berdirilah Islamic Development Bank (IDB) bulan oktober 1975. kini IDB memiliki lebih dari 43 kantor di negara anggotanya dengan Jedah menjadi kantor pusatnya.
F. Pemikiran dan Aktivitas Ekonotni Syari’ah di Indonesia
Jika kita lacak akar sejarah pemikiran dan aktivitas ekonomi Islam indonesia tak bisa lepas dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini bahkan aktivitas ekonomi syari’ah di tanah air tak terpisahkan dari konsepsi lingua franca. Menurut para pakar, mengapa bahasa melayu menjadi bahasa nusantara, ialah karena bahasa Melayu adalah bahasa yang populer dan digunakan dalam berbagai transaksi perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomipun didominasi oelh orang melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa melayu meiliki banyak kosa kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas ekonomi syari’ah tidak dalam bentuk formal melainkan telah berdifusi dengan kebudayaan melayu sebagaimana formal melainkan telah berfusi dengan kebudayaan melayu sebagaimana tercermin dalam bahasanya. Namun demikian, penelitian khusus tentang institusi dan pemikiran ekonomi syari’ah nampaknya belum ada yang meminatinya secara khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita adalah upaya dan gerakan yang dominan untuk penegakan syari’ah Islam dalam kontek kehidupan politik dan hukum. Walaupun pernah lahir piagam Jakarta dan gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian penagakan syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.
Pemikiran dan aktivitas dari ekonomi syari’ah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syari’ah. Salah satu pilihannya adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan syari’ah Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok pesantren. Gerakan koperasi yang belum sukses disusul dengan pendirian bank syari’ah yang relatif sukses. Walaupun lahirnya kedahuluan oleh Philipina, Denmark, Luxemburg dan AS, akhirnya bank Islam pertama di indoensia hari demi hari semakin kuat karena bebara faktor:
1. adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya;
2. tumbuhnya kesadaran masyarakat manfaatnya lembaga keuangan dan perbankan syari’ah,
3. dukungan politik atau plotical will dari pemerintah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Welcome on Our Website, Thanks for Join and Let You follow Us.