1. Dampak Riba Dari Segi Ekonomi
Menurut Agustianto (2010), dalam Riba dan Meta Ekonomi Islam, dampak riba dari segi ekonomi adalah:
pertama, sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1930 sampai saat ini. Sistem ekonomi ribawi telah membuka peluang para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat mengakibatkan volatilitas ekonomi banyak negara. Sistem ekonomi ribawi menjadi puncak utama penyebab tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.
Kedua, di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Data IMF menunjukkan bagaimana kesenjangan tersebut terjadi sejak tahun 1965 sampai hari ini.
Ketiga, Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka investasi semakin menurun. Jika investasi menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun, maka akan meningkatkan angka pengangguran
Keempat, Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi yang terjadi akibat ulah tangan manusia. Inflasi seperti ini sangat dibenci Islam, sebagaimana ditulis Dhiayuddin Ahmad dalam buku Al-Quran dan Pengentasan Kemiskinan. Inflasi akan menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat dengan asumsi cateris paribus.
Kelima, Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada jebakan hutang (debt trap) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya.
Keenam, dalam konteks Indonesia, dampak bunga tidak hanya sebatas itu, tetapi juga berdampak terhadap pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani APBN untuk membayar bunga obligasi kepada perbakan konvensional yang telah dibantu dengan BLBI. Selain bunga obligasi juga membayar bunga SBI. Pembayaran bunga yang besar inilah yang membuat APBN kita defisit setiap tahun. Seharusnya APBN kita surplus setiap tahun dalam mumlah yang besar, tetapi karena sistem moneter Indonesia menggunakan sistem riba, maka tak ayal lagi, dampaknya bagi seluruh rakyat Indonesia sangat mengerikan .
Dengan fakta tersebut, maka benarlah Allah yang mengatakan bahwa sistem bunga tidak menumbuhkan ekonomi masyarakat, tapi justru menghancurkan sendi-sendi perekonomian negara, bangsa dan masyarakat secara luas. Itulah sebabnya, maka lanjutan ayat tersebut pada ayat ke 41 berbunyi :”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah”Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia. Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Selama berabad-abad sistem ekonomi dunia dikendalikan oleh alat instrument tunggal yakni bunga (riba) dan selama itu pula ekonomi dunia tidak pernah stabil bahkan Irfing Cristol dan Daniell Bell dalam bukunya “Runtuhnya Teori Ekonomi” menyebutnya dengan empat gelombang besar keruntuhan ekonomi, hal ini dimulai sejak mazhab Merkantilisme sampai runtuhnya mazhab klasik 1930 atau yang biasa dikenal dengan great depression. Dan nampaknya gelombang kelima sedang terjadi yakni dengan hancurnya pasar finansial dunia serta tumbangnya perusahaan-perusahaan raksasa sehingga pertumbuhan ekonomi negara-negara maju sampai angka minus. Maka bahasan berikut adalah dampak riba terhadap sektor-sektor ekonomi.
2. Dampak Riba Dari Segi Ketahanan Perusahaan
Jika salah satu prinsip perusahaan adalah going concern atau perusahaan itu akan ada selamanya maka perusahaan tersebut akan melewati berbagai kondisi ekonomi setiap waktunya, diamana laiknya cuaca kondisi ekonomi bisa sangat cerah dan bisa sangat ekstrim di waktu yang lain, oleh karena itu hanya perusahaan yang punya daya tahanlah yang akan bertahan.
Menyadari akan keadaan tersebut maka perusahaan akan senantiasa mencari cara dan skema bertahan dalam menghadapi berbagai macam kondisi ekonomi, maka pertanyaanya adalah seberapa jauhkah bunga berpengaruh terhadap ketahanan perusahaan.
Ustadz Habiburrahim Lc dalam pengajian Majelis Al-Kauny yang diadakan pada tanggal 18 Oktober 2008, selain hal di atas ada dampak negative lain yang tidak berdampak langsung pada sebuah perekonomian, namun dalam jangka panjang efeknya baru dapat dirasakan.
1. Riba dapat menumbuhkan rasa permusuhan diantara individu dan melemahkan nilai social dan kekeluargaan. Selain itu, riba dapat menimbulkan eksploitasi dan tindak kedzaliman pada pihak tertentu.
2. Menumbuhkan sikap pemalas bagi orang yng mempunyai modal, di mana ia mampu mendapatkan banyak uang tanpa adanya sebuah usaha yang nyata.
3. Mendorong manusia untuk menimbun harta sabil menunggu adanya kenaikan interest rate.
4. Menimbulkan sifat elitism dan jauh dari kehidupan masyarakat.
5. Membuat manusia lupa akan kewajiban hartanya seperti infak, sedekah dan zakat.
6. Mendorong manusia untuk melakukan tindak kezaliman dan eksploitasi terhadap orang lain, baik pinjaman yang bersifat produktif maupun konsumtif.
Praktek Riba Dalam Perekonomian
Ekonomi Syariah menekankan pada nilai-nilai etis yang bersumber dari Alquran dan Al Hadist. Dalam ekonomi syariah lebih ditekankan pada aspek keadilan menghilangkan segala bentuk penghisapan dan penindasan terhadap pihak lain sehingga melahirkan ketimpangan. Oleh sebab itu dalam ekonomi syariah tidak hanya menekankan pada aspek kepentingan individu tetapi juga masyarakat atau aspek sosial. Dengan demikian, setiap individu tetap memiliki ruang untuk berkembang secara maksimal, namun di pihak lain juga diberikan batasan-batasan sedemikian rupa sehingga aktifitas ekonominya tidak merugikan orang lain.
Dewasa ini banyak dari masyarakat yang melakukan praktek-praktek ekonomi yang terdapat unsur riba di dalamnya, masalah yang timbul dan banyak dibicarakan adalah status bunga yang terdapat pada bank konvesional, yaitu dengan mengambil tambahan dalam hutang piutang. Namun, dalam kehidupan masyarakat banyak yang memungut tambahan atas pinjaman sebagai contoh adalah praktek hutang piutang yang ada pada masyarakat yaitu mengambil bunga dari pinjaman baik itu melalui kegiatan-kegiatan warga seperti PKK maupun individu. Dan tidak hanya itu, dalam hal jual beli sebagian masyarakat melakukan jual beli yang ada unsur riba yaitu membeli buah-buahan yang belum nampak hasilnya (borongan).
Menurut Fuad Fachrudin, dalam koperasi sendiri untuk kegiatan usahanya harus meninggalkan praktek riba berupa penggunaan skim bunga dalam kegiatan usahanya. Tidak menetapkan menetapkan bungandalam kegitan simpan pinjamnya karena riba bertentangan dengan semnagat kemitraan keadilan dan kepedulian terhadap lingkungan. Sistem bunga tidak peduli dengan nasib debiturnya dan tidak adil dalam penetapan bunga atas pokok modal. Konsep ini harus diterapkan secara menyeluruh bukan sepotong-potong karena penetapan yang sepotong-potong tidak menjamin teraktualisasinya tujuan koperasi.
Dalam transaksi perbankan basis yang digunakan dalam praktek perbankan internasional adalah menggunakan basis bunga (interest based) dimana salah satu pihak (nasabah) bertindak sebagai peminjam dan pihak yang lainnya (bank) bertindak sebagai pemberi pinjaman. Atas dasar pinjaman tersebut nasabah dikenakan bunga sebagai kompensasi dari pertanggungan waktu pembayaran hutang tersebut, dengan tidak mempedulikan apakah nasabah mengalami keuntungan ataupun tidak.
Praktek seperti ini sebenarnya sangat mirip digunakan dengan praktek riba jahiliyah pada masa jahiliyah.
Hanya bedanya, pada riba jahiliyah bunga baru akan dikenakan ketika si peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan sebagai kompensai penambahan waktu pembayaran. Sedangkan pada praktek perbankan bungan telah ditetapkan sejak pertama kali keepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana yang dipinjamnya. Oleh karena itulah tidak heran jika banyak ulama mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi pada sektor perbankan saat ini lebih jahiliyah dibandingkan riba jahiliyah.
Selain terjadi dalam aspek pembiayaan sebagaimana di atas, riba juga terjadi pada aspek tabungan. Dimana nasabah mendapatkan bunga yang pasti dari bank sebagai komepnsasi uang yang disimpannya dalam bank, baik bank mengalami keuntungan maupun kerugian. Berbeda dengan disistem sayariah dimana bank syariah tidak menjanjikan return tetap, melainkan hanya nisbah (yaitu prosentase yang akan dibagikan dari keuntungan yang di dapatkan dari bank). Sehingga return yang di dapatkan nasabah bisa naik turun sesuai dengan naik turunnya keuntungan bank. Istilah seperti ini yang kemudian berkembang namanya manjadi sistem bagi hasil.
Dalam sektor asuransi pun juga tidak luput dari bahaya riba. Karena dalam asuransi (konvensional) terjadi tukar menukar uang dalam jumlah yang tidak sama dan dalam waktu yang juga tidak sama. Sebagaimana contoh, seseorang yang mengasuransikan kendaraannya dengan premi Rp 1.000.000,00/tahun. Pada tahun ketiga dia kehilangan mobilnya seharga Rp 100.000.000,00 dan oleh karenanya pihak asuransi memberikan ganti rugi sebesar harganya yang telah hilang. Padahal jika diakumulasikan dia baru membayar premi sebesar Rp 3.000.000,00. Jadi darimana Rp 97.000.000,00 yang telah diterimanya? Jumlah Rp 97.000.000,00 yangg diterimanya masuk dalam ketegori riba Fadhl (yaitu tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama).
Pada saat bersamaan, praktek asuransi juga termasuk kategori riba nasi’ah (kelebihan yang dikenakan atas pertangguhan waktu), karena uang klaim yang didapatkan yadan biyadin dengan premi yang dibayarkan. Antara keduanya ada tenggang waktu, dan oeh karenanya terjadilah riba nasi’ah.
Pada transaksi jual beli secara kredit yang tidak diperbolehkan adalah yang mengacu pada bunga yang disertakan dalam jual beli tersebut. Apalagi jika bunga tersebut berfluktuatif, naik dan turun sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sehingga harga jual dan belinya menjadi tidak jelas (gharar fitsaman). Sementara sebenarnya dalam syariah islam, dalam jual beli harus ada kepastian harga antara penjual dan pembeli, serta tidak boleh adanya perubahan yang tidak pasti, baik pada harga maupun pada barang yang diperjualbelikan. Selain itu jika, jika terjadi kemacetan pembayaran di tengah jalan, barang tersebut akan diambil kembali oleh penjual atau dealer dalam jual beli kendaraan. Pembayaran yang telah dilakukan dianggap sebagai sewa terhadap barang tersebut.
Belum lagi komposisi cicilan pembayaran, seringkali tidak jelas, berapa harga pokoknya dan berapa bunganya. Seringkali cicilan pembayaran pada tahun-tahun awal, bunga lebih besar dibandingkan dengan pokok hutang yang harus dikembalikan. Akhirnya pembeli kerap merasa dirugikan di tengah jalan. Hal ini terutama berbeda dengan sistem jual beli secara syariah, dimana komposisi cicilan adalah flat antara pokok dan marginnya, harga tidak mengalami perubahan sebagiamana perubahan bunga, dan kepemilikan barang yang jelas, jika terjadi kemacetan. Dan sistem seperti ini, akan menguntungkan baik untuk penjual maupun pembeli.
Walaupun dalam Islam telah dijelaskan keharaman riba, saat ini masyarakat banyak yang tidak mengetahui tentang apa itu riba. Mereka berpandangan bahwa riba adalah mengambil tambahan yang terlau tinggi dalam hutang piutang misalnya yang dilakukan oleh para rintenir, sedangkankan apabila tambahan yang diambil dari pinjaman kecil maka bukanlah riba. Dalam jual beli masyarakat tidak memahami riba, yang mereka ketahui bahwa riba hanya terdapat dalam hutang piutang yaitu mengambil tambahan dalam pinjaman dan mereka mencotohkan seperti yang dilakukan bank-bank konvesional.
Hutang piutang dengan tambahan dilakukan masyarakat karena memang praktek seperti itulah yang mereka ketahui, dan mereka beranggapan bahwa tidak ada hutang piutang yang tidak dengan bunga karena selama ini tidak ada yang melakukan hutang piutang tanpa tambahan baik dari individu maupun kegiatan-kegiatan warga.
Dengan alasan di atas, bahwa diperlukan pemahaman tentang praktek perekonomian yang diusung oleh Islam, kewajiban bagi para ulama dan juga para cendekiawan untuk memberikan pemahaman agar masyarakat mengetahui praktek perekonomian apa saja yang dilarang oleh Islam dan yang dibolehkan, sehingga Islam yang disebut sebagai pedoman hidup baik di dunia maupun di akhirat dapat terwujud.
ALASAN PEMBENARAN PENGAMBILAN RIBA
Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Di antara-nya karena alasan:
1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak mendzalimi, diperkenankan.
3. Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.
PEMBAHASAN :
1. Darurat
Untuk lebih memahami pengertian, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat ini seperti yang dinyatakan oleh syara’ (Allah dan rasul-Nya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
Imam Suyuti dalam bukunya Al Asybah wan Nadhair menegaskan bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, maka akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.”
Dalam literatur klasik keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan, maka dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan 2 batasan
“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa, seraya dia (1) tidak menginginkan dan (2) tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun Maha Penyayang.” (Q.S. Al Baqarah: 173) Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, ter-utama penerapan al qawaid al fiqhiyah seputar kadar darurat.
Sesuai dengan ayat di atas para ulama merumuskan kaidah
“Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya.”
Artinya darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam maka dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap maka tidak boleh melampaui batas hingga tujuh atau sepuluh suap. Apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangga.
2. Berlipat Ganda
Pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat-ganda dan memberatkan. Sementara bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan . Pendapat ini berasal dari pe-mahaman yang keliru atas Surat Ali Imran ayat 130.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.”
Sepintas, surat Ali Imran 130 ini memang hanya melarang riba yang berlipat-ganda. Namun pemahaman kembali ayat ter-sebut secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya. Secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan
Kriteria berlipat-ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba, dan sama sekali bukan merupakan syarat. Syarat artinya kalau terjadi pelipat-gandaan, maka riba, jikalau kecil tidak riba.
Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konfrensi fiqh Islami di Paris, tahun 1978, me-negaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Beliau menjelaskan secara linguistik arti “kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula. Sementara adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian berarti 3×2=6 kali. Sementara dalam ayat adalah ta’kid untuk penguatan.
Dengan demikian menurut beliau, kalau berlipat-ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600 %. Secara operasional dan nalar sehat angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan-pinjam.
Menanggapi pembahasan Q.S. Ali Imran ayat 130 ini Syaikh Umar bin Abdul Aziz Al Matruk, menegaskan
“Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 Surat Ali Imran, termasuk redaksi berlipat-ganda dan pengguna-annya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian redaksi ini (berlipat-ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminologi syara (Allah dan rasul-Nya).”
DR. Sami Hasan Hamoud menjelaskan bahwa, bangsa Arab di samping mela-kukan pinjam-meminjam dalam bentuk uang dan barang bergerak juga melakukannya dalam ternak. Mereka biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (bint labun). Kalau meminjamkan bint labun meminta kembalian haqqah (berumur 4 tahun). Kalau meminjamkan haqqah meminta kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).
Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan tergantung kekuatan supply and demand (permintaan dan penawaran) di pasar. Dengan demikian, kriteria tahun bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.
Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaidah maf-hum mukhalafah dalam konteks Ali Imran 130 sangatlah menyimpang baik dari siyaqul kalam, konteks antar-ayat, kronologis penurunan wahyu, dan sabda-sabda Rasulullah seputar pembungaan uang serta praktek riba pada masa itu. Secara sederhana, jika kita menggunakan logika maf-hum mukhalafah yang berarti konsekuensi secara terbalik – jikalau berlipat ganda dilarang, maka kecil boleh; jikalau tidak sendirian, maka bergerombol; jikalau tidak di dalam maka di luar. dan seterusnya, kita akan salah kaprah dalam memahami pesan-pesan Allah I Sebagai contoh jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara mafhum mukhalafah {32} “Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk.” “Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” Janganlah mendekati zina! Yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina sendiri tidak dilarang. Demikian juga larangan memakan daging babi.
Janganlah memakan daging babi! Yang dilarang memakan dagingnya, sementara tulang, lemak, dan kulitnya tidak disebutkan secara eksplisit. Apakah berarti tulang, lemak, dan kulit babi halal.
Pemahaman pesan-pesan Allah seperti ini jelas sangat membahayakan karena seperti dikemukakan di atas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan wahyu, konteks antarayat, sabda-sabda Rasulullah seputar subjek pembahasan, demikian juga disiplin ilmu bayan, badie, dan maa’nie.
Di atas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa ayat 130 Surat Ali Imran diturunkan pada tahun ke 3 H. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari surat Al Baqarah yang turun pada tahun ke 9 H. Para ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut merupa-kan “ayat sapu jagat” untuk segala bentuk, ukuran, kadar, dan jenis riba.
3. Badan Hukum dan Hukum Taklif
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian BCA, Bank Danamon, atau Bank Lippo, tidak terkena hukum taklif karena pada saat Nabi hidup belum ada.
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis
i. Adalah tidak benar pada zaman pra-Rasulullah tidak ada “badan hukum” sama sekali. Sejarah Romawi, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Atau dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.
ii. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.
0 komentar:
Posting Komentar
Welcome on Our Website, Thanks for Join and Let You follow Us.