Selasa, 29 Desember 2015

PRINSIP DASAR AKUNTANSI SYARIAH DAN KONVENSIONAL

Mengkaji sistem Ekonomi Islam, tidak pernah lepas dari membandingkan dengan sistem ekonomi konvensional yang saat ini hampir menguasai seluruh sistem ekonomi dunia sejak ratusan tahun yang lalu sampai dengan sekarang sekarang. Pada prakteknya, sistem ekonomi islam dewasa ini masih tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari pengaruh faktor sistem ekonomi konvensional.



Walaupun sistem ekonomi islam sudah ada sejak islam datang, yakni bersama dengan kedatangan Al Quran pada tahun 610 M, jadi 800 tahun lebih dahulu dari akuntansi konvensional. Hal ini terlihat berdasarkan sejarah akuntansi konvensional yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan akuntansi muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli pada tahun 1494. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”.

Namun dalam perkembangan jaman, dunia lebih dikuasai oleh praktek-praktek ekonomi konvensional. Sehingga sistem ekonomi islam yang mulai bangkit kembali di abad ini dalam prakteknya lebih kepada menyempurnakan/mengkontruksi system yang telah ada menuju kepada nilai-nilai islam, yang merujuk pada Al Quran & Al Hadis.

Dalam system ekonomi islam pun demikian, pada praktek dan teknisnya tidak terbebas dari pengaruh konvensional. Dalam makalah ini akan dikaji prinsip dasar akuntansi konvensional, prinsip dasar akuntansi islam, perbedaan diantara keduanya dan bagaimana teori dan praktek akuntansi islam terbentuk sampai dengan perkembangannya sekarang ini.

PRINSIP DASAR AKUNTANSI ISLAM

Definisi Akutansi Islam

Kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu), dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional.Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.

Dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.



Prinsip Umum Akuntansi Islam

Berdasarkan Surat Al Baqarah 282:

1. Prinsip Pertanggungjawaban (accountability)
Implikasi dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dala praktik bisnis harus selalu melakukan pertanggungjawaban apa yang telah diamanatkan dan diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait.

2. Prinsip Keadilan
Dalam konteks akuntansi, menegaskan, kata adil dalam ayat 282 surat Al-Baqarah, secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahan harus dicatat dengan benar. Dengan kata lain tidak ada window dressing dalam praktik akuntansi perusahaan.

3. Prinsip Kebenaran
Dalam akuntansi selalu dihadapkan pada masalah pengakuan & pengukuran laporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada nilai kebenaran. Kebenaran ini akan dapat menciptakan nilai keadilan dalam mengakui, mengukur, dan melaporkan tansaksi-transaksi dalam ekonomi.
Sejarah Praktek Akuntansi Islam

Dari catatan sejarah islam, praktek-praktek akuntansi islam telah diterapkan pada jaman Rasulullah SAW, tepatnya setelah terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah dan diteruskan pula oleh para Khulafaur Rasyidin. Pada masa itu dibentuk undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara.

Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut.

Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba.

Jika dibandingkan dengan penjelasan dalam Al Quran, kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:

”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya.

Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.

Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi:

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an.

“……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)
Tujuan akuntansi syariah adalah terciptanya peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental, dan teologis. Dengan akuntansi syariah, realitas sosial yang dibangun mengandung nilai tauhid dan ketundukan kepada ketentuan Allah SWT.

PRINSIP DASAR AKUNTANSI KONVENSIONAL

Landasan Berpikir Akuntansi Konvensional

Akuntansi kapitalis dibangun berdasarkan landasan pikir sekuler terkonstruksi sebagai ilmu yang bebas nilai ( Value Free ), sehingga satu-satunya landasannya adalah rasional tanpa memiliki dimensi teologis ketauhidan serta moral. Akuntansi yang dibangun pada ranah peradaban ekonomi kapitalis lahir sebagai perangkat konstruktif peradaban tersebut. Seluruh dimensi penyajian laporan keuangan selalu mencerminkan kebutuhan dan kepentingan stockholder sesuai dengan filosofi induk yang melahirkannya, hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Karl Max bahwa akuntansi kapitalis hanya merupakan legalisasi kaum kapitalis untuk tetap eksis.

Kritik terhadap Akuntansi Konvensional

Trueblood Committee ( Harahap, 2001, h. 92 ), menyampaikan kritik terhadap akuntansi konvensional sebagai berikut :
  1. Akuntansi hanya menyangkut laporan historis sehingga tidak dapat menggambarkan secara eksplisit prospek masa depan.
  2. Angka-angka akuntansi umumnya didasarkan pada hasil transaksi pertukaran sehingga hanya menggambarkan nilai pada saat itu.
  3. Dalam akuntansi sering digunakan metode dari beberapa metode yang sama-sama diterima yang menghasilkan laporan dan informasi berbeda.
  4. Akuntansi menekankan pada laporan keuangan yang bersifat umum yang dapat digunakan semua pihak. Sehingga terpaksa selalu memperhatikan semua pihak padahal pemakaiannya yang sebenarnya memiliki perbedaan kepentingan.
  5. Angka-angka disatu laporan berkaitan dengan angka-angka dilaporan lainnya.
  6. Diakui bahwa laporan keuangan yang sekarang tidak menggambarkan likuiditas dan arus kas.
  7. Perubahan dalam daya beli uang jelas ada, namun hal ini tidak tergambarkan dalam laporan keuangan.
  8. Konsep “materiality” merupakan konsep pelaporan. Batasan terhadap istilah ini agak abu-abu.

Terdapat kesalahan perspektif filosofis di kalangan akuntan terhadap pengertian bukti atau ” Evidential Matters”. Evidential Matters dimarjinalisasi pengertiannya menjadi hanya bukti formal, seharusnya selain memeriksa bukti-bukti formal, legal dan wajar tetapi harus berdasarkan keyakinan substansi professional yang dimiliki seorang akuntan di bentengi dengan etika profesi (Bambang Sudibyo, 2002).

Kwik Gian Gie sering sekali menyatakan dalam berbagai media bahwa profesi akuntan hanya memperhatikan bukti formal bukan substansial, sehingga opini akuntan publik baginya tidak berguna sama sekali dalam menilai keadaan keuangan perusahaan
( Harahap, 2001, h. 102).

PERSAMAAN & PERBEDAAN AKUNTANSI KONVENSIONAL & AKUNTANSI ISLAM

Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

1.    Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi.
2.    Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan.
3.    Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal.
4.    Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang.
5.    Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya).
6.    Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan.
7.    Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
Akuntansi konvensional
  • Konsep modal pokok (capital) belum ditentukan, sehingga cara menentukan nilai/harga untuk melindungi modal pokok sering berbeda pendapat
  • Modal terbagi 2, yakni modal tetap (aktiva tetap) dan modal yg beredar (aktiva lancar)
  • Mempraktekkan teori pencadangan & ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan
  • Mengeyampingkan laba yg bersifat mungkin
  • Menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, juga uang dari sumber yg haram
  • Laba hanya ada ketika adanya jual beli

Akuntansi Islam


  • Konsep modal pokok dalam islam berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yg akan datang dlm ruang lingkup perusahaan yg kontinuitas
  • Barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), dst barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang
  • Mata uang (emas, perak, dll) bukan tujuan segalanya, melainkan hanya sebagai perantara utk pengukuran & penentuan nilai/harga (sebagai sumber harga/nilai)
  • Penentuan nilai dan harga berdasarkan nilai tukar yg berlaku
  • Membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko
  • Membedakan laba dari aktivitas pokok dan laba yg berasal dari capital/modal pokok dengan yang berasal dari transaksi dan wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, serta berusaha menghindari & menyalurkan pada tempat-tempat yg tlh ditentukan oleh para ulama fiqh
  • Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha/dicampurkan pada pokok modal
  • Laba akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yg telah terjual/belum. Akan tetapi jual beli adalah suatu keharusan utk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

PERKEMBANGAN TEORI & PRAKTEK AKUNTANSI ISLAM

Perkembangan Teori & Praktek Akuntansi Islam secara Umum
Realitas akuntansi modern yang dibangun dengan nilai-nilai egoistik, materialistik dan utilitarian, menjadi belenggu bagi manusia modern untuk menemukan jati dirinya dan Tuhan.

Bagi kalangan masyarakat muslim, Tuhan menjadi tujuan akhir dan menjadi tujuan puncak kehidupan manusia. Akuntansi syari’ah,hadir untuk melakukan dekonstruksi terhadap akuntansi modern. Melalui epistemologi berpasangan, akuntansi syari’ah berusaha memberikan kontribusi bagi akuntansi sebagai instrumen bisnis sekaligus menunjang penemuan hakikat diri dan tujuan hidup manusia.

Versi Pertama:

Akuntansi syari’ah memformulasikan tujuan dasar laporan keuangannya untuk memberikan informasi dan media untuk akuntabilitas. Informasi yang terdapat dalam akuntansi syari’ah merupakan informasi materi baik mengenai keuangan maupun nonkeuangan, serta informasi nonmateri seperti aktiva mental dan aktiva spiritual. Contoh aktiva spiritual adalah ketakwaan, sementara aktiva mental adalah akhlak yang baik dari semua jajaran manajemen dan seluruh karyawan.

Sebagai media untuk akuntabilitas, akuntansi syari’ah memiliki dua macam akuntabilitas yaitu akuntabilitas horisontal, dan akuntabilitas vertikal. Akuntabilitas horisontal berkaitan dengan akuntabilitas kepada manusia dan alam, sementara akuntabilitas vertikal adalah akuntabilitas kepada Sang Pencipta Alam Semesta.

Versi Kedua:

Tujuan dasar laporan keuangan syari’ah adalah: memberikan informasi, memberikan rasa damai, kasih dan sayang, serta menstimulasi bangkitnya kesadaran keTuhanan. Ketiga tujuan ini, merefleksikan secara berturut-turut dunia materi, mental, dan spiritual. Tujuan pertama secara khusus hanya menginformasikan dunia materi baik yang bersifat keuangan maupun non keuangan. Tujuan kedua membutuhkan bentuk laporan yang secara khusus menyajikan dunia mental yakni rasa damai, kasih dan sayang.
Selanjutnya tujuan ketiga, disajikan dalam wadah laporan yang khusus menyajikan informasi kebangkitan kesadaran keTuhanan.

Pendekatan dalam perumusan sistem ini adalah seperti yang dikemukakan oleh Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institution (AAOIFI) yaitu :

  1. Menentukan tujuan berdasarkan prinsip Islam dan ajarannya kemudian menjadikan tujuan ini sebagai bahan pertimbangan dengan mengaitkannya dengan pemikiran akuntansi yang berlaku saat ini.
  2. Memulai dari tujuan yang ditetapkan oleh teori akuntansi kapitalis kemudian mengujinya menurut hukum syariah, menerima hal-hal yang konsisten dengan hukum syariah dan menolak hal-hal yang bertentangan dengan syariah. 


Prinsip Modal Pokok dalam Akuntansi Islam

Diantara tujuan syariat Islam ialah menjaga dan mengembangkannya melalui jalur-jalur yang syar’i, untuk merealisasikan fungsinya dalam kehidupan perekonomian serta membantu memakmurkan bumi dan pengabdian kepada Allah SWT. Sumber-sumber hukum Islam telah mencukup kaidah-kaidah yang mengatur pemeliharaan terhadap modal pokok (kapital). Prinsip-Prinsip Akuntansi pada Modal Pokok yang terpenting diantaranya sebagai berikut.

1. Tamwil dan Syumul (Mengandung Nilai dan Universal)
modal itu harus dapat memberikan nilai, yaitu mempunyai nilai tukar di pasar bebas. Bisa saja, modal beda dalam naungan sebuah perusahaan dalam bentuk uang, barang milik, atau barang dagangan selama harta itu masih bisa dinilai dengan uang oleh pakar-pakar yang ahli di bidang itu serta disepakati oleh mitra usaha.
Ra’sul-maal (modal awal) juga bisa berbentuk manfaat , yang dalam konsepakuntansi positif disebut ushul ma’nawiah (modal nonmateri), seperti halnya sesorang yang terkenal maupun nama baik dan hak-hak istimewa. Oleh karena itu dalam konsep akuntasi Islam, kapital mempunyai makna universal dan luas, yang meliputi uang, benda, atau yang nonmateri.

2. Mutaqawwim (Bernilai)
Modal itu harus bernilai, artinya dapat dimanfaatkan secara syar’i. Jadi, harta-harta yang tidak mengandung nilai tidak termasuk dalam wilayah akuntansi yang sedang dibicarakan, seperti khamar, daging babi, dan alat-alat perjudian.
Di suatu negara yang berhukum kepada hukum Islam, tidak boleh masuk kedalam keuangannya atau keuangan masyarakatnya yang muslim jenis-jenis harta yang tidak boleh dimafaatkan secara syar’i. Jika didapati, harus disita dan menghukum orang-orang Islam yang memilikinya.

3. Penguasaan dan Pemilikan yang Berharga
Mal atau harta itu harus dimilki secara sempurna dan dikuasainya sehingga ia dapat memanfaatkannya secara bebas dalam bermuamalah atau bertransaksi. Sebagai contoh, tidak boleh bagi seseorang untuk memulai dengan pihak lain kerja sama dalam uang dan pekerjaan dengan janji membayarkan uang tersebut dikemudian hari atau uang itu masih bersifat utang (dalam jaminan), seperti yang ditegaskan oleh ulama fiqih dalam fiqih syarikah.

4. Keselamatan dan Keutuhan Ra'sul-maal
Sistem akuntansi Islam menekankan pemeliharan terhadap kapital yang hakiki, seperti yang tergambar dalam sabda Rasul sebagai berikut.“Seorang mukmin itu bagaikan seorang pedagang; dia tidak akan menerima laba sebelum dia mendapatka ra’sul-maalnya (modal). Demikian juga, seorang mukmin tidak akan mendapatkan amalan-amalan sunnahnya sebelum ia menerima amalan-amalan wajibnya.” (HR Bukhari dan Muslim)Jadi, kalau modal belum dipisahkan dan keuntungan telah dibagi, itu dianggap telah membalikan sebagai modal kepada sipemilik saham. Hal inilah yang banyak menimbulkan masalah dalam perusahaan-perusahaan.

Adapun yang dimaksud dengan selamatnya modal hakiki ialah selamat dari julah, unit-unit materinya, dan daya tukar barang, bukan dari segi unit-unit uangnya dan juga bukan dari segi daya beli secara umum. Prinsip ini adalah hasil bahasan seorang peneliti konsep akuntansi Islam dalam tesis magisternya yang berjudul “Perhitungan terhadap Modak antara konsep Akuntansi Islam Modern”. Dia menjelaskan kelebihan konnsep akuntansi Islam yang lebih dahulu menyelesaikan problem pemeliharaan terhadap modal hakiki.

Hukum-hukum Islam juga mengandung kaidah-kaidah pengukuran yang dapat merealisasikannya.
Hukum Islam juga meangadung apa yang kita bahas, yang diantaranya tentang penentuan harga berdasarkan nilai yang berlaku di pasar bebas yang jauh dari tipu muslihat, monopoli, dan semua jenis jual beli yang dilarang syar’i, yang menyebabkan memakan harta orang lain secara batil. Pendapat ahli tafsir dan ulama fiqih tentang pemeliharaan modal (ra’sul-maal) hakiki.

  1. Imam ar-Razi berkata, “Yang diinginkan oleh seorang saudagar dari usahannya ialah dua hal: keselamatan modal dan laba.”
  2. Imam an-Nasafi berkata, “Sesungguhnya tuntutandagang itu ialah selamatnya modal dan adnya laba.”
  3. Ibnu Qudamah berkata, “laba itu ialah hasil pemeliharaan terhadap modal.”
  4. At-habari berkata. “orang yang beruntung dalam perdagangannya ialah orang yang menukar barang yang dimilikinya dengan suatu tukaran yang lebih berharga dari barangnya semula.”


Prinsip Perhitungan Laba dalam Akuntansi Islam

Diantara tujuan dagang yang terpenting ialah meraih laba, yang merupakan cerminan pertumbuhan harta. Laba ini muncul dari proses pemutaran modal dan pengopersiannya dalam aksi-aksi dagang dan moneter. Islam sangat mendorong pendayagunaan harta/modal yang melarang menyimapnnya sehingga tidak habis sdimakan zakat, sehingga harta itu dapat merealisasikan peranannya dalam aktivitas ekonomi. Di dalam Islam, laba mempunyai pengertian khusus sebagaimana telah dijelaskan oleh ulama-ulama salaf dan khalaf. Dalam bahasa Arab, laba berarti pertumbuhan dalam dagang

Pengertian Laba dalam Konsep Islam

Dari pengertian laba secara bahasa atau menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan pendapat ulama-ulama fiqih dapat kita simpulkan bahwa laba ialah pertambahan pada modal pokok perdagangan atau dapat juga dikatakan sebagai tambahan nilai yang timbul karena barter atau ekpedisi dagang.
Aturan laba dalam konsep Islam.

  • Adanya harta (uang) yang dikhususkan untuk perdagangan
  • Mengoperasikan modal tersebut secara interaktif dengan unsur-unsur yang lain lain yang terkait untuk produksi, seperti usaha dan sumber-sumber alam.
  • Memposisikan harta sebagai obyek dalam pemutarannya karena adanya kemungkinan-kemungkinan pertmabahan atau pengurangan jumlahnya
  • Selamatnya modal pokok yang berati modal bisa dikembalikan.

Kesimpulan

Akuntansi konvensional yang berkembang hingga saat ini dan yang banyak dipakai para akuntan di dunia terbukti tidak sesuai dengan nilai-nilai islam yang bersumber pada Al Quran dan Al Hadis. Bahkan pada perkembangannya akuntansi konvensional yang bebas nilai ini, yang dilandasi pola berpikir egoistik, materialistik dan utilitarian tidak memiliki kemampuan untuk menjawab persoalan-persoalan akuntansi yang muncul dewasa ini.

Perkembangan dan perubahan bentuk industri tidak diikuti secara pararel oleh ilmu akuntansi konvensional, pencatatan hanya dilakukan pada aktiva berwujud saja, sedangkan industri pada masa kini besar dengan assets berupa aktiva tak berwujud seperti paten, goodwill, lisensi, hak cipta, internet, website, software dan sebagainya. Itulah salah satu keterbatasan akuntansi konvensional pada saat ini, tidak mampu menghitung assets yang diluar kalkulasi material.

Tidak demikian dengan Akuntansi Islam yang menjunjung tinggi nilai moral dan etika dan berpedoman pada Al Quran dan Al Hadis. Dalam sistem tersebut, kegiatan identifikasi, klarifikasi, dan pelaporan dan mengambil keputusan ekonomi harus berdasarkan prinsip akad-akad syari’ah, yaitu tidak mengandung zhulum (Kezaliman), riba, maysir (judi), gharar (penipuan), barang yang haram dan membahayakan.
Dengan system yang dianut tersebut, Akuntansi Islam justru pada perkembangannya saat ini menunjukkan kinerja yang lebih baik dari sistem akuntansi lainnya.

Penulis : Amirah Ahmad Nahrawi Lc, M.Ec, M.Sy


0 komentar:

Posting Komentar

Welcome on Our Website, Thanks for Join and Let You follow Us.