Masalah Lahan Pertanian di Indonesia
Salah satu masalah dalam pertanian di Indonesia adalah masalah lahan pertanian. Menurut Anton Apriantono, terdapat 5 (lima) masalah lahan di Indonesia, yaitu : pertama, luas kepemilikan lahan petani yang sempit, sehingga sulit menyangga kehidupan keluarga petani. Kedua, produktivitas lahan yang menurun terus, akibat intensifikasi berlebihan dan penggunaan pupuk kimia secara terus menerus. Ketiga, terjadinya alih fungsi (konversi) lahan yang bertambah besar untuk keperluan non-pertanian, misalnya untuk keperluan industri (pabrik) dan pemukiman. Keempat, belum optimalnya implementasi pemetaan komoditas terkait dengan agroekosistem. Kelima, masih banyaknya lahan tidur (idle land). (Anton Apriyantono, Pembangunan Pertanian di Indonesia, hlm. 13).
Solusi masalah-masalah itu, memang sudah digagas dan sebagiannya sudah diimplementasikan. Tetapi solusi tersebut nampaknya hanya solusi yang sifatnya teknis belaka, tanpa memasukkan Syariah Islam sebagai hukum yang mampu mengatasi masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh, masalah kepemilikan lahan petani yang sempit. Data menunjukkan umumnya para petani Indonesia tergolong petani gurem dengan luas garapan kurang dari 1 ha. Menurut hasil sensus 1983, petani Indonesia rata-rata memiliki lahan 0,98 ha/petani. Namun sensus 2003, petani Indonesia hanya memiliki 0,7 ha/petani. Bahkan, di Pulau Jawa petani hanya memiliki 0,3 ha dan luar Jawa memiliki 0,8 ha/petani (Sinar Harapan, 15 Juli 2011). Solusinya? Ada yang menggagas, agroindustri pedesaan harus dibangun untuk merasionalisasi (mengurangi) jumlah petani yang memiliki lahan sempit. Ini artinya, petani hanya dianjurkan alih profesi, sementara masalah mendasarnya sendiri tidak terselesaikan, yaitu kepemilikan lahan yang sempit. Solusi ini juga jelas tidak menggunakan Syariah Islam yang sebenarnya telah mengatur bagaimana seseorang dapat memiliki lahan.
Contoh lain, masalah lahan tidur. Solusinya kadang hanya dijelaskan secara global saja, yaitu misalnya memanfaatlan lahan tidur untuk memberdayakan masyarakat. Tapi bagaimana caranya, dan apakah Syariah Islam punya solusi untuk masalah itu, tidak dijelaskan. Padahal Syariah Islam punya solusi untuk mengatasi lahan-lahan tidur yang ditelantarkan oleh pemiliknya. Tulisan ini bertujuan menerangkan hukum-hukum syariah Islam terkait lahan pertanian dan kebijakan pertanian dalam Islam.
Hukum-Hukum Seputar Lahan Pertanian
Syaikh Abdurrahman Al-Maliki dalam As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla telah menerangkan 3 (tiga) hukum syariah terpenting yang menyangkut lahan pertanian, yaitu : (1) hukum tentang kepemilikan lahan (milkiyah al-ardh), (2) hukum mengelola lahan pertanian (istighlal al-ardh), dan (3) hukum menyewakan lahan pertanian (ta`jir al-ardh). (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 59-69).
Hukum Kepemilikan Lahan
Syariah Islam telah menetapkan hukum-hukum khusus terkait lahan pertanian. Yang terpenting adalah hukum kepemilikan lahan. Bagaimanakah seorang petani dapat memiliki lahan? Syariah Islam menjelaskan bahwa ada 6 (enam) mekanisme hukum untuk memiliki lahan, yaitu : pertama, melalui jual beli. Kedua, melalui waris. Ketiga, melalui hibah. Keempat, melalui Ihya`ul Mawat (menghidupkan tanah mati). Kelima, melalui Tahjir (membuat batas pada suatu lahan). Keenam, melalui Iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat). (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 59).
Mengenai mekanisme jual beli, waris, dan hibah, sudah jelas. Adapun Ihya`ul Mawat, adalah upaya seseorang untuk menghidupkan tanah mati (al-ardhu al-maitah), yaitu tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Menghidupkan tanah mati, artinya melakukan upaya untuk menjadikan tanah itu menghasilkan manfaat, misalnya bercocok tanam pada tanah itu, menanam pohon padanya, membangun bangunan di atasnya, dan sebagainya. Upaya seseorang menghidupkan tanah mati, menjadi sebab baginya untuk memiliki tanah tersebut. Sabda Rasulullah SAW :
من أحيا أرضا ميتة فهي له
"Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Bukhari). (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 79).
Adapun Tahjir, artinya adalah membuat batas pada suatu bidang tanah dengan batas-batas tertentu, misalnya dengan meletakkan batu, membangun pagar, dan yang semisalnya. Sama dengan Ihya`ul Mawat, aktivitas Tahjir juga dilakukan pada tanah mati. Aktivitas Tahjir menjadikan tanah yang dibatasi/dipagari itu sebagai hak milik bagi yang melakukan Tahjir, sesuai sabda Rasulullah SAW :
من أحاط حائطا على أرض فهي له
"Barangsiapa memasang batas pada suatu tanah, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Ahmad, Thabrani, dan Abu Dawud). (Lihat Athif Abu Zaid Sulaiman Ali, Ihya` Al-Aradhi Al-Mawat fi Al-Islam, hlm. 72).
Sedangkan Iqtha’, adalah kebijakan negara Khilafah memberikan tanah milik negara kepada rakyat secara gratis. Tanah ini merupakan tanah yang sudah pernah dihidupkan, misalnya pernah ditanami, tapi karena suatu hal tanah itu tidak ada lagi pemiliknya. Maka tanah seperti ini menjadi tanah milik negara (milkiyah al-daulah) bukan tanah mati (al-ardhu al-maitah) sehingga tidak dapat dimiliki dengan cara Ihya`ul Mawat atau Tahjir. Tanah seperti ini tidak dapat dimiliki individu rakyat, kecuali melalui mekanisme pemberian (iqtha’) oleh negara. Rasulullah SAW pernah memberikan sebidang tanah kepada Abu Bakar dan Umar. Ini menunjukkan negara boleh dan mempunyai hak untuk memberikan tanah milik negara kepada rakyatnya. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 60).
Hukum Mengelola Lahan Pertanian
Mengenai pengelolaan lahan yang sudah dimiliki, Syariah Islam mewajibkan para pemilik lahan, baik yang dimiliki dengan cara Ihya`ul Mawat, Tahjir, maupun yang dimiliki dengan cara lainnya, untuk mengelola tanah itu agar produktif. Artinya, kepemilikan identik dengan produktivitas. Prinsipnya, memiliki berarti berproduksi (man yamliku yuntiju). Jadi pengelolaan lahan adalah bagian integral dari kepemilikan lahan itu sendiri. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 61).
Maka dari itu, Syariah Islam tidak membenarkan orang memiliki lahan tapi lahannya tidak produktif. Islam menetapkan siapa saja yang menelantarkan lahan pertanian miliknya selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, maka hak kepemilikannya gugur. Pada suatu saat Khalifah Umar bin Khaththab berbicara di atas mimbar :
من احيا ارضا ميتة فهي له وليس لمحتجر حق بعد ثلاث سنين
"Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Dan orang yang melakukan tahjir tidak mempunyai hak lagi atas tanahnya setelah tiga tahun (tanah itu terlantar)." (Disebut oleh Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharaj. Lihat Muqaddimah Al-Dustur, Juz II hlm. 45).
Pidato Umar bin Khaththab itu didengar oleh para shahabat dan tak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Maka terdapat Ijma’ Shahabat bahwa hak milik orang yang melakukan tahjir (memasang batas pada sebidang tanah) gugur jika dia menelantarkan tanahnya tiga tahun.
Tanah yang ditelantarkan tiga tahun itu selanjutnya akan diambil alih secara paksa oleh negara untuk diberikan kepada orang lain yang mampu mengelolanya. Dalam kitab Al-Amwal, Imam Abu Ubaid meriwayatkan dari Bilal bin Al-Haris Al-Muzni dari kakeknya, dia berkata,"Bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan kepadanya [Bilal] tanah di wilayah Al-Aqiq semuanya. Dia berkata,’Maka pada masa Umar, berkatalah Umar kepada Bilal,’Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak memberikan tanah itu agar kamu membatasinya dari orang-orang, namun Rasulullah SAW memberikan tanah itu agar kamu mengelolanya. Maka ambillah daripadanya yang mampu kamu kelola dan kembalikan sisanya." (Lihat Athif Abu Zaid Sulaiman Ali, Ihya` Al-Aradhi Al-Mawat fi Al-Islam, hlm. 73).
Namun gugurnya hak milik ini tidak terbatas pada tanah yang dimiliki lewat tahjir, tapi dapat diqiyaskan juga pada tanah-tanah yang dimiliki melalui cara-cara lain, seperti jual beli atau waris. Hal itu karena gugurnya hak milik orang yang melakukan tahjir didasarkan pada suatu illat (alasan hukum), yaitu penelantaran tanah (ta’thil al-ardh). Maka berdasarkan Qiyas, tanah-tanah pertanian yang dimiliki dengan cara lain seperti jual beli dan waris, juga gugur hak miliknya selama terdapat illat yang sama pada tanah itu, yaitu penelantaran tanah (ta’thil al-ardh). (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 140).
Hukum Menyewakan Lahan Pertanian
Akad menyewakan lahan pertanian (ta`jir al-ardh) dalam fiqih disebut dengan istilah Muzara’ah atau Mukhabarah. Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya akad tersebut. Namun pendapat yang rajih (kuat) adalah yang mengharamkannya. Pentarjihan dalil yang rinci dapat dilihat dalam kitab Muqaddimah Al-Dustur, Juz II hlm. 46-63.
Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim disebutkan :
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن يؤخذ للأرض أجر أو حظ
"Rasulullah SAW telah melarang untuk mengambil upah atau bagi hasil dari lahan pertanian." (HR Muslim).
Hadits tersebut dengan jelas mengharamkan akad menyewakan lahan pertanian secara mutlak, baik tanah Usyriyah maupun tanah Kharajiyah, baik tanah itu disewakan dengan imbalan uang, imbalan barang, atau dengan cara bagi hasil (Jawa : maro). (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 68).
Tapi yang diharamkan adalah menyewakan lahan pertanian untuk keperluan bercocok tanam saja (li az-zira’ah), misalnya untuk ditanami padi atau jagung. Adapun jika menyewakan lahan pertanian bukan untuk bercocok tanam, hukumnya boleh, misalnya untuk dijadikan kandang ternak, gudang, tempat peristirahatan, dan sebagainya. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm.143)
Kebijakan Pertanian dalam Islam
Selain hukum-hukum seputar lahan di atas, Islam juga telah menggariskan kebijakan pertanian (as-siyasah az-zira’iyyah), yaitu sekumpulan kebijakan negara yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian (al-intaj al-zira’iy) dan meningkatkan kualitas produksi pertanian. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 185-190).
Kebijakan pertanian ini secara garis besar ditempuh dengan dua metode;
pertama, intensifikasi (at-ta’miq), misalnya dengan menggunakan pembasmi hama kimiawi, teknologi pertanian modern, atau bibit unggul. Intensifikasi ini sepenuhnya akan dibantu oleh negara. Negara akan memberikan (bukan meminjamkan) hartanya kepada para petani yang tidak mampu agar petani mampu membeli segala sarana dan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Ini sebagaimana yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khathab yang memberikan sarana produksi pertanian kepada para petani Irak untuk mengelola tanah pertanian mereka. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 119).
Kedua, ekstensifikasi (at-tausi’). Ini ditempuh antara lain dengan menerapkan Ihya`ul Mawat, Tahjir, dan Iqtha’ (memberikan tanah milik negara). Negara juga akan mengambil alih secara paksa lahan-lahan pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun lalu memberikan kepada orang yang mampu mengelolanya.
Syaikh Abdurrahman Al-Maliki juga menegaskan, selain dengan intensifikasi dan ekstensikasi di atas, kebijakan pertanian juga harus bebas dari segala intervensi dan dominasi asing, khususnya dominasi negara-negara Barat yang imperialis. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 187).
Penutup
Jika hukum-hukum lahan pertanian dan kebijakan pertanian di atas diterapkan, masalah-masalah lahan di Indonesia kiranya akan dapat diselesaikan dengan tuntas. Masalah lahan yang sempit misalnya, dapat diselesaikan dengan menerapkan hukum Ihya`ul Mawat. Seluruh rakyat baik muslim maupun non muslim akan mendapat kesempatan memiliki tanah dengan mekanisme Ihya`ul Mawat. Atau dapat pula dengan menerapkan hukum iqtha’, yaitu negara memberikan tanah miliknya kepada rakyat. Dari mana negara memperoleh lahan ini? Negara memiliki tanah dari lahan-lahan tidur yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Negara akan mengambil alih lahan-lahan tidur yang terlantar itu secara paksa, lalu diberikan secara gratis kepada petani yang mampu mengelolanya. Negara pun akan membantu petani jika mereka tidak mampu mengelolanya.
Yang tak kalah penting dari itu, adalah mengatasi cengkeraman asing dalam dunia pertanian di Indonesia. Selama 20 tahun terakhir (sejak 1990-an), pemerintah RI telah mengadopsi kebijakan pangan ala neo-liberal yang sangat pro pasar bebas (free-market). Dengan kata lain, kebijakan itu tidak pro-petani atau pro-rakyat, melainkan pro-kapitalis (imperialis). Kebijakan yang didiktekan IMF dan Bank Dunia itu pada faktanya sangat destruktif. Antara lain: penghapusan dan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor komoditi pangan yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll.), dan pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan (contohnya mengubah BULOG dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah).
Cengkeraman asing ini harus disikapi dengan tegas bertolak dari kebijakan pertanian dalam Islam di atas. Kebijakan pertanian yang pro-kapitalis itu wajib dihentikan secara total, untuk selanjutnya diganti dengan kebijakan pertanian Islami berdasarkan Syariah Islam semata. Wallahu a’lam [ ]
DAFTAR BACAAN
Al-Maliki Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, (ttp. : tp.), 1963
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 2004
Ali, Athif Abu Zaid Sulaiman, Ihya` Al-Aradhi Al-Mawat fi Al-Islam, (Makkah : Rabithah Alam Islami), 1416
Apriyantono, Anton, Pembangunan Pertanian di Indonesia, (ttp. : tp.), t.t
Tetanel, Yauri, Kedaulatan Pangan dan Nasib Pertanian Indonesia, (ttp. : tp.), t.t
Selasa, 29 Desember 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Welcome on Our Website, Thanks for Join and Let You follow Us.