Rabu, 17 Juni 2015
REZIM JOKOWI TERJEBAK NEOLIB
Kurang dari 6 bulan masa pemerintahan Jokowi, rakyat Indonesia harus dihadapkan pada realita kenaikkan berbagai harga barang kebutuhan pokok. Pasca kenaikkan drastis harga BBM bersubsidi di tahun 2014 lalu, serentetan harga-harga komoditas lain pun turut mengalami peningkatan hingga saat ini.
Jika kita amati, hampir seluruh kebijakan yang digulirkan oleh rezim Jokowi terkesan tidak bijak, bahkan sarat agenda neoliberalisasi. Sebut saja, pencabutan subsidi BBM yang menyebabkan harga BBM fluktuatif, pemberian izin ekspor hasil tambang kepada PT. Freeport, kenaikkan tarif dasar listrik, melonjaknya harga bahan pokok seperti beras, hingga terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Rakyat pun dibuat seolah tak berdaya menerima ‘kejutan’ yang bertubi-tubi selama kurun waktu 5 bulan berlangsungnya pemerintahan Jokowi-JK sejak resmi dilantik pada 20 Oktober 2014 lalu.
Masyarakat, khususnya kaum ibu dan pelaku usaha kecil-menengah, adalah pihak yang paling merasakan ‘liarnya’ berbagai harga-harga kebutuhan pokok di pasar. Harga BBM yang telah dicabut subsidinya oleh pemerintah pada awal tahun ini, mengakibatkan harga barang-barang pokok yang memerlukan distribusi antar wilayah menjadi sangat fluktuatif.
Sudah menjadi hal yang lumrah, ketika kondisi perekonomian sangat tidak stabil, pedagang di pasar lebih memilih untuk menaikkan harga barang yang dijualnya untuk menghindari kerugian yang besar. Hampir seluruh komoditas bahan pokok yang ada di pasaran mengalami kenaikkan harga, seperti cabai, bawang dan sayur-mayur. Yang lebih miris lagi, di tengah kondisi ekonomi yang semakin carut-marut, Jokowi justru membuat kebijakan yang ‘mencekik’ rakyat.
Beras untuk rakyat miskin (Raskin) dihentikan, di saat harga beras naik 30% pada Februari lalu. Dengan dalih akan digantikan dengan program ‘kartu bank’ yang diklaim akan lebih tepat sasaran dan efektif, pemerintah membuat jutaan rakyat miskin di Indonesia harus menderita, bahkan mati kelaparan.
Di bawah pemerintahan Jokowi pula, Indonesia ‘berhasil’ meraih prestasi sebagai negara di ururtan ke-15 yang paling sengsara di seluruh dunia. Berdasarkan hasil penelitian seorang ekonom dari Universitas Colombia, Arthur Melvin Oku, suatu negara dapat dikatakan sebagai negara yang sengsara (menyengsarakan rakyatnya) jika tingkat angka pengangguran dan inflasi di negara tersebut sangat tinggi. Hal itulah yang dijadikan indikator bagi Bloomberg untuk menyematkan ‘gelar’ sebagai salah satu negara paling sengsara di dunia kepada Indonesia, sebagaimana yang dilansir dalam Telegraph (5/3/2015).
Kondisi seperti ini semestinya membuat kita bertanya-tanya, cukupkah sosok pemimpin negara yang berpenampilan merakyat saja untuk dapat membangkitkan Indonesia dari keterpurukan? Sudah jelas terbukti, bahwa negeri ini tak butuh sosok yang sekedar berwajah merakyat saja namun berjiwa neoliberal, yang sejak awal kepemimpinannya telah membuat rakyatnya sengsara.
Terjebak Agenda Neoliberal
Mungkin memang bukan sepenuhnya keinginan dari pemimpin negeri ini untuk menyengsarakan rakyatnya dengan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Tidak terkecuali dalam hal kenaikkan harga kebutuhan-kebutuhan mendasar seperti yang terjadi hingga saat ini.
Kenaikkan harga di pasar merupakan fenomena yang bisa dinilai wajar apabila disebabkan oleh faktor mekanisme pasar yang dinamis. Hukum permintaan dan penawaran berlaku dalam fluktuasi harga barang-barang di pasaran. Seperti yang kita tahu, jika permintaan terhadap suatu barang meningkat namun penawarannya berkurang, maka harga jual akan tinggi. Sebaliknya jika penawaran suatu barang terhadap konsumen meningkat namun permintaannya sedikit, maka harga jual akan turun.
Akan tetapi, tentu akan menjadi hal yang sangat tidak wajar apabila faktor non mekanisme pasar yang justru mendominasi fluktuasi harga barang di pasaran. Maka, asumsi yang muncul dan mengemuka di tengah masyarakat pun tidak lain yakni adanya ‘permainan’ yang terjadi diantara para stakeholder yang memegang peran penting dalam stabilisasi harga.
Tidak dapat kita pungkiri, bahwa sistem yang diterapkan di negeri ini telah menghantarkan para pemimpinnya untuk menjadi sosok yang sangat liberal, dalam arti berlepas diri dari tanggungjawabnya dalam mengurusi dan menjamin urusan rakyatnya.
Pergantian rezim demi rezim, dengan karakter dan latarbelakang yang berbeda-beda sudah pernah dirasakan oleh rakyat di negeri ini. Mulai dari yang berlatarbelakang nasionalis-sosialis, militer, intelektual, cendekiawan muslim, kalangan perempuan bahkan hingga sosok sederhana nan merakyat yang sebelumnya banyak diidolakan masyarakat pun ternyata tidak sanggup membawa Indonesia ke arah perubahan yang lebih baik.
Jelas, carut-marutnya kondisi negeri ini bukanlah terletak pada perkara siapa sosok pemimpinnya semata, namun lebih jauh adalah tentang sistem atau wadah institusi apa yang mewarnai gaya kepemimpinan tiap karakter pemimpin yang beragam tersebut.
Neoliberalisme adalah sebuah istilah yang tepat untuk menggambarkan ‘warna’ pemikiran yang menjadi landasan dari kebijakan di Indonesia, maupun negara-negara penganut kapitalisme lainnya. Tidak salah apabila dikatakan bahwa naiknya harga-harga kebutuhan pokok masyarakat adalah imbas dari diberlakukannya agenda-agenda neoliberalisasi dan neoimperialisasi yang merupakan ‘bisikan’ pihak asing kepada pemimpin negeri ini.
Indonesia kini sedang berada dalam jebakan agenda neoliberalisasi dimana secara lambat namun pasti, pemerintah semakin berlepas tangan terhadap urusan rakyatnya, bahkan hingga negara sama sekali tidak turut campur dalam pengurusan permasalahan rakyatnya sendiri.
Pencabutan subsidi di sektor energi, adalah indikasi awal pemerintah berlepas tangan dari tanggungjawabnya terhadap rakyat. Pemberian izin eksploitasi sumber daya alam dan barang tambang kepada pihak asing, sebagaimana yang dilakukan pemerintah terhadap Freeport, Chevron, Newmont dan perusahaan asing lainnya merupakan indikasi lain dari ‘nafas’ neoliberalisasi di negeri ini. Belum lagi, pemenuhan kebutuhan pokok dan mendasar bagi rakyat yang tidak lagi menjadi urusan pemerintah, melainkan pertarungan berat antara hidup dan mati, yang mau tidak mau harus dihadapi oleh puluhan juta rakyat miskin di Indonesia.
Semua penderitaan rakyat seakan disempurnakan oleh pemerintah melalui kebijakan moneter yang sarat spekulasi, dengan format APBN defisit yang mewajibkan Indonesia berutang kepada asing dan ketergantungan terhadap sektor ekonomi non-riil yang sangat rentan collaps ketika terjadi krisis moneter. Lantas, apa peran pemerintah selain membuat rakyatnya semakin terjerembab ke dalam lembah kesengsaraan? Belum cukup sadarkah pemerintah untuk melepaskan diri dari jebakan berbagai agenda neoliberal asing agar bisa menyelamatkan rakyatnya dari jeratan penderitaan?
Metode Jitu Melepaskan Diri dari Jerat Neoliberalisasi
Puluhan tahun sudah sebagian besar rakyat di negeri ini hidup sengsara akibat penerapan sistem kapitalisme yang belakangan semakin kentara ‘bernafaskan’ neoliberalisasi. Perubahan parsial maupun perubahan rezim saja terbukti gagal untuk menangani segala permasalahan yang ada di negeri ini. Jelas, masyarakat butuh suatu metode jitu untuk dapat mengubah kondisi bangsa ini dan menyelamatkan 250 juta rakyat yang hidup di dalamnya. Namun, metode seperti apa yang benar-benar jitu bagi negeri ini untuk melepaskan diri dari jeratan agenda-agenda neoliberalisasi?
Perubahan hakiki adalah perubahan berbasis landasan hidup atau ideologi yang digunakan dalam suatu perikehidupan masyarakat. Sejarah mencatat, sudah terjadi beberapa perubahan berbasis ideologi yang menghasilkan suatu peradaban besar pada masanya. Kapitalisme dan sosialisme adalah dua ideologi yang pernah dan sedang mengisi ‘warna’ kehidupan masyarakat dunia. Tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa terdapat 1 ideologi besar lainnya yang pernah mencetak peradaban mulia sepanjang sejarah kehidupan manusia. Ideologi tersebut tidak lain adalah Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. atas petunjuk wahyu Allah SWT. ke hampir seluruh penjuru dunia.
Islam, merupakan sebuah sistem kehidupan khas yang unik dan unggul, yang memiliki aturan bagi seluruh aspek kehidupan manusia di muka bumi ini. Islam jelas tidak hanya sekedar agama ritual yang mengatur perkara-perkara ibadah saja, tapi lebih dari itu, sejak 1400 tahun lalu, Islam telah hadir membawa perubahan besar bagi kehidupan manusia di seluruh dunia. Islam sebagai aturan hidup universal, artinya mengatur segala perkara kehidupan manusia, baik muslim maupun non muslim, dengan latar belakang ras atau suku manapun, terbukti mampu menorehkan sejarah emas selama masa penerapannya. Sistem ekonomi, politik, sosial, hukum dan persanksian seluruhnya tidak luput dari aturan Islam.
Terkait pengaturan Islam dalam sistem ekonomi, Islam dengan sangat jelas meletakkan prinsip ekonomi non-ribawi. Sistem moneter dalam Islam bukanlah berdasarkan fiat money (uang kertas) yang nilai nominal dengan nilai intrinsiknya jauh berbeda, tetapi berdasarkan mata uang emas dan perak. Penggunaan emas dan perak sebagai mata uang tentunya akan membuat nilai tukar kurs mata uang menjadi stabil, tanpa terpengaruh nilai mata uang asing. Selain itu, dalam sistem ekonomi Islam, sumber utama pemasukan negara bukanlah pajak apalagi utang kepada negara imperialis.
Pengelolaan harta milik umum, diantaranya hasil sumber daya alam, pertambangan dan energi merupakan sumber pemasukan utama negara selain zakat dan sumber-sumber lainnya. Negara bertanggungjawab penuh untuk mengelola kekayaan alam dan hasil keuntungan dari pengelolaan tersebut sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pemenuhan kebutuhan mendasar maupun pembangunan fasilitas umum.
‘Meliarnya’ harga-harga bahan pokok di pasaran akibat faktor mekanisme pasar pun akan dengan cepat ditangani oleh pemerintah dan tidak dibiarkan berlarut-larut. Sejarah penerapan Islam mencatat, di masa pemerintahan Umar bin Khattab ra. pernah terjadi kelangkaan bahan pangan karena musim paceklik sehingga harga-harga melonjak tinggi. Dengan sigap, Khalifah Umar mendatangkan bahan-bahan pokok yang dibutuhkan rakyatnya dari daerah lain, sehingga dalam waktu singkat masalah tersebut dapat diatasi.
Tindakan pelanggaran atau kecurangan di pasar pun akan ditindak tegas menggunakan sistem uqubat (persanksian) dalam Islam tanpa perlu menunggu adanya pengaduan dari masyarakat. Sanksinya pun tegas dan pastinya mampu menimbulkan efek jera. Tidak heran, jika peradaban yang lahir dari sistem Islam merupakan peradaban yang tidak hanya mulia, namun juga sejahtera dan menyejahterakan.
Kesempurnaan aturan Islam tentunya hanya dapat dirasakan jika Islam dapat diterapkan secara utuh dalam kehidupan kita. Metode jitu ini memerlukan sebuah media untuk penerapannya. Bukan dalam sistem demokrasi-kapitalis, ataupun sosialis yang nyata memisahkan agama dari aturan kehidupan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Welcome on Our Website, Thanks for Join and Let You follow Us.