Minggu, 16 Agustus 2015

PERANG KURS AS DAN CHINA



Tanpa ada woro-woro, otoritas moneter Republik Rakyat China melakukan manuver paling mengerikan yang tak kalah merusak dibanding perang, tiga hari lalu. Bank Sentral China (PBOC) menurunkan nilai tukar paritas mata uang Yuan ke level 6,401 per USD hanya dalam 2 x 24 jam. Dampaknya dirasakan penduduk negara berkembang, seperti Indonesia. Muncul ancaman kelesuan ekonomi, berkurangnya konsumsi, hingga menyusutnya lapangan kerja.

Jika direrata, pelemahan Yuan mencapai 3,5 persen di pasar antar bank atau 4,8 persen di pasar global. Cukup ekstrem untuk negara yang selama dua dekade relatif sukses mengimbangi kuasa Dollar Amerika Serikat.

Sesuai istilah keuangan, langkah bank sentral China ini disebut devaluasi. China akhirnya mendevaluasi kurs setelah terakhir kali melakukannya pada 1994.

Seperti dilaporkan Kantor Berita Reuters, analis pasar keuangan menilai China melakukan ini demi persaingan dengan Amerika Serikat. Dalam keterangan resminya, PBOC beralasan devaluasi penting untuk mendorong ekspor.

"Tapi devaluasi sejauh ini belum sesuai perhitungan. Jika (Yuan) masih akan dilemahkan, dapat meningkatkan potensi perang kurs (dengan AS)," kata Akademisi Yale University, Stephen Roach.

Teori adanya perang kurs antara China dan AS bukan barang baru. Sejak 2008, muncul laporan dari ekonom senior Nouriel Roubini, bahwa kedua negara terkuat dunia itu saling memanipulasi mata uangnya masing-masing untuk meraup keuntungan ekonomi.

Sumber di internal PBOC mengakui pelemahan pekan ini sengaja dilakukan buat mengimbangi meningkatnya nilai tukar Dollar AS sepanjang dua triwulan terakhir. Ada sumber lain, dilaporkan Reuters, yang menyatakan pejabat di pemerintahan RRC ingin yuan didevaluasi hingga 10 persen. Bila itu terjadi, AS sudah pasti tidak akan tinggal diam lalu ikut mengacaukan pasar kurs.

merdeka.com

0 komentar:

Posting Komentar

Welcome on Our Website, Thanks for Join and Let You follow Us.