Kamis, 20 Agustus 2015

PERBEDAAN BAGI HASIL DAN BUNGA



Sangat banyak masyarakat umum dan bahkan intelektual terdidik, yang belum memahami konsep bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syariah. Secara dangkal dan keliru mereka mengklaim, bahwa bagi hasil hanyalah nama lain dari sistem bunga. Tegasnya, bagi hasil dan bunga sama saja. Pandangan ini juga masih terdapat dikalangan sebagian kecil ustadz yang belum memahami konsep dan operasional bagi hasil.
Untuk meluruskan kesalahpahaman itu, perlu dibahas pebedaan bunga dan bagi hasil dalam ruangan yang terbatas ini.

Dalam bank syariah, ada tiga produk pembiayaan yang dipraktekkan, Pertama, bagi hasil, Kedua, jual-beli dan Ketiga, ijarah dan jasa.
Bagi hasil, terdiri dari mudharabah dan musyarakah. Jual beli, terdiri dari produk ba’i murabahah, ba’i istisna’, dan ba’i salam. Sedangkan jasa, terdiri dari wakalah, kafalah, hiwalah, ijarah, ba’i at-takjiri dan al-ijarah muntahiyah bit tamlik.

Jadi, dalam perbankan syariah, bagi hasil hanyalah salah satu produk pembiayaan perbankan syariah. Saat ini bank syariah di Indonesia, masih dominan menerapkan produk jual beli, khususnya, jual beli murabahah dan istishna’.

Sistem bagi hasil, sebagai ciri khas utama bank syariah belum diterapkan secara menyeluruh dalam operasi bank muamalah, karena memang, bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) hanyalah salah satu dari konsep fikih muamalah. Namun harus dicatat, meskipun bagi hasil belum diterapkan secara dominan, tetapi praktek bunga sudah bisa dihindarkan secara total.

PERBEDAAN BAGI HASIL DAN BUNGA

Setidaknya, ada tujuh perbedaan penting antara bungan dan bagi hasil. Tujuh perbedaan ini sudah terlalu cukup bagi kita untuk memahami konsep bagi hasil dan bedanya dengan bunga.

Pertama, penentuan bunga ditetapkan sejak awal, tanpa berpedoman pada untung rugi, sehingga besarnya bunga yang harus dibayar  sudah diketahui sejak awal.

Misalnya, si A meminjam uang di sebuah bank konvensional sebesar Rp. 10.000.000,- dengan jangka waktu pelunasan selama 12 bulan. Besar bunga yang harus dibayar si A, ditetapkan bank secara pasti, misalnya 24 % setahun. Dengan demikian si A  harus membayar Rp. 200.000 per bulan, selain pokok pinjaman.

Sedangkan pada sistem bagi hasil, penentuan jumlah besarnya tidak ditetapkan sejak awal, karena pengembalian bagi hasil didasarkan kepada untung rugi dengan pola nisbah (rasio) bagi hasil. Maka jumlah bagi hasil baru diketahui setelah berusaha atau sesudah ada untungnya.

Misalnya, si A menerima pembiayaan mudharabah sebesar Rp. 10.000.000,- dengan jangka waktu pelunasan 12 bulan. Jumlah bagi hasil yang harus dibayarkan kepada Bank belum diketahui sejak awal. Kedua belah pihak hanya menyepakati porsi bagi hasil misalkan 80 % bagi hasil dan 20 % untuk bank syariah.

Pada bulan pertama, si A mendapatkan keuntungan bersih misalnya, sebesar Rp. 1.000.000,- maka bagi hasil yang disetorkannya kepada bank syariah ialah 20 % x Rp. 1.000.000,- = Rp. 200.000,- jadi bagi hasil yang harus dibayarkan ialah Rp. 200.000,- ditambah pokok pinjaman.

Pada bulan kedua, keuntungannya meningkat, misalnya menjadi Rp. 1.500.000,- maka bagi hasil yang disetorkan sebesar 20 % x Rp. 1.500.000,- = Rp. 300.000,- maka jumlah setoran bagi hasil pada bulan kedua sebesar Rp. 300.000,-

Pada bulan ketiga, keuntungan mungkin saja menurun, misalkan Rp. 750.000,- maka bagi hasil yang dibayarkan pada bulan tersebut ialah 20 % x Rp. 750.000,- = Rp. 150.000,-

Dengan demikian, jumlah bagi hasil selalu berfluktuasi dari waktu ke waktu, sesuai dengan besar kecilnya keuntungan yang diraih mudharib (pengelola dana / pengusaha). Hal ini tentu berbeda sekali dengan bunga.

Kedua, besarnya persentase bunga dan besarnya nilai rupiah, ditentukan sebelumnya berdasarkan jumlah uang yang dipinjamkan. Misalnya 24 % dari besar pinjaman. Sedangkan dalam bagi hasil, besarnya bagi hasil tidak didasarkan pada jumlah pinjaman (pembiayaan), tetapi berdasarkan keuntungan yang pararel, misalnya, 40 : 60 (40 % keuntungan untuk bank dan 60 % untuk deposan) atau 35 : 65 (35 % untuk bank dan 65 % untuk deposan) dan seterusnya.

Ketiga, dalam sistem bunga, jika terjadi kerugian, maka kerugian itu hanya ditanggung si peminjam (debitur) saja, berdasarkan pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan, sedangkan pada sistem bagi hasil, jika terjadi kerugian, maka hal itu ditanggung bersama oleh pemilik modal dan peminjam. Pihak perbankan syariah menanggung kerugian tenaga, waktu dan pikiran.

Keempat, pada sistem bunga, jumlah pembayaran bunga kepada nasabah penabung / deposan tidak meningkat, sekalipun keuntungan bank meningkat, karena persentase bunga ditetapkan secara pasti tanpa didasarkan pada untung dan rugi. Sedangkan dalam sitem bagi hasil, jumlah pembagian laba yang diterima deposan akan meningkat, manakala keuntungan bank meningkat, sesuai dengan peningkatan jumlah keuntungan bank.

Kelima, pada sistem bunga, besarnya bunga yang harus dibayar di peminjam, pasti diterima bank, sedangkan dalam sistem bagi hasil, besarnya tidak pasti, tergantung pada keuntungan perusahaan yang dikelola si peminjam, sebab keberhasilan usahalah yang menjadi perhatian bersama pemilik modl (bank) dan peminjam.

Keenam, sistem bunga dilarang oleh semua agama samawi. Sedang sistem bagi hasil tak ada agama yang mengancamnya. Bunga dilarang dengan tegas oleh agama-agama Yahudi, Nasrani dan Islam, seperti terungkap dibawah ini :
“Jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, jangan kamu bersikap seperti orang yang menghutangkan, jangan kamu meminta keuntungan untuk hartamu (Kitab Keluaran Perjanjian Lama, Ayat 25 pasal 22).

“Jika saudaramu membutuhkan sesuatu, maka tanggunglah, jangan kau meminta dirinya keuntungan dan manfaat” (Kitab Imamat ayat 35 pasal 25).

“Jika kamu meminjamkan kepada orang, yang kamu mengharapkan bayaran darinya, maka kelebihan apa yang diberikan olehmu. Tetepi lakukanlah kebaikan-kebaikan dan pinjamkanlah tanpa mengharapakan pengembaliannya. Dengan begitu pahalamu melimpah ruah. (Injil Lukas, ayat 34, 35 pasal 6).

Berdasarkan nash ini, para gerejawan sepakat mengharamkan riba secara total. Scubar mengatakan, “Sesungguhnya orang yang mengatakan riba bukan maksiat, ia di hitung sebagai orang atheis yang keluar dari agama”. Sementara itu, Paus Pius berkata, “ Sesungguhnya para pemakan riba, mereka kehilangan harga diri dalam hidup di dunia dan mereka bukan orang yang pantas dikafankan setelah mereka mati”.

Sedangkan Larangan Riba dalam Islam termaktub dalam Surat Al-Baqarah Ayat 275,


"Orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."

[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

dalam Surat Al-Baqarah Ayat 279,



"Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."

Di dalam Sunnah, Nabiyullah Muhammad saw 

دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً

“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).

الرِبَا ثَلاثَةٌَ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عَرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمَ

“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR Ibn Majah).

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim)

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Allah melaknat orang yang memakan (pemakai) riba, orang yang memberi riba, dua orang saksi dan pencatat (dalam transaksi riba), mereka sama saja”. (HR. Muslim dan Ahmad)

Ketujuh, pihak bank dalam sistem bunga, memastikan penghasilan debitur di masa yang akan datang dan karena itu ia menetapkan sejak awal jumlah bunga yang harus dibayarkan kepada bank. Sedangkan dalam sistem bagi hasil, tidak ada pemastian tersebut, karena yang bisa memastikan penghasilan di masa depan hanyalah Allah. Karena itu, bunga bertentangan dengan surah Luqman ayat 34.


Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok[1187]. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

[1187]Maksudnya: manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, Namun demikian mereka diwajibkan berusaha.

Di semua lini kehidupan kita sekarang ini, hampir tak ada celah kita lepas dari riba. Riba melekat erat dengan kehidupan kita. Empat belas abad yang lalu, Rasulullah saw mengatakan bahwa, “Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya,” (HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu Hurairah).

Masa yang disebutkan oleh Rasulullah itu sedang terjadi sekarang. Bayar kuliah, lewat bank. Beli pulsa (bisa) lewat bank. Asuransi. Kredit. Bikin usaha dengan meminjam ke bank. Gajian. Kirim uang ke orang lain, dan sebagainya.Dan ketika kita masih menggunakan uang kwartal pun, itu sudah termasuk suatu transaksi riba dan mungkin inilah yang dimaksud oleh Rasulullah dengan terkena debu riba itu.

Dan Allah telah memberitakan dengan jelas dan gamblang tentang bagaimana riba dan apa sanksi bagi pengguna riba. Riba adalah penambahan pada modal pokok sedikit ataupun banyak lipatannya. Riba bukan lagi masalah bagi kebanyakan orang.

Di antara tanda-tanda semakin dekatnya kiamat lagi ialah munculnya riba secara merajalela di tengah-tengah masyarakat dan ketidakpedulian mereka terhadap makanan yang haram. Di dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda, yang artinya:

“Menjelang datangnya hari kiamat akan merajalela riba,” (HR: Thabrani sebagaimana termaktub dalam At-Targhib Wat-tarhib karya Al-Mundziri 3:9, dan beliau berkata, “Perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih”).

Dan di dalam kitab Shahih diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya:

“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman yang pada waktu itu orang tidak memperdulikan lagi harta yang diperolehnya, apakah dari jalan halal atau dari jalan haram.”
(Shahih Bukhari, Kitab Al-Buyu’, Bab Qaulil-Lah Azza wa Jalla: “Yaa ayyuhal-ladziina aamanuu ta’kuluu ar-ribaa” 4: 313, dan Sunan Nasa’i 7: 234, Kitab Al-Buyu’, Bab Ijtinaabi Asy-Syubuhaat fi Al-Kasbi).


Wallaahu A'lam Bish-Showabi.

0 komentar:

Posting Komentar

Welcome on Our Website, Thanks for Join and Let You follow Us.