Rabu, 29 Juli 2015

PEMERINTAH JANGAN DISKRIMINATIF DALAM MENGUSUT KASUS TOLIKARA



Ketua Bidang Seni dan Budaya MUI KH Cholil Ridwan menuturkan, pemerintah menyatakan bahwa kondisi Tolikara sudah kondusif, umat Islam diminta supaya tenang jangan membalas dendam agar tidak merembet ke daerah lain. “Meskipun dinyatakan sudah kondusif, kita tetap meminta agar pemerintah bertindak tegas untuk menangkap tokoh intelektual Tolikara,” kata Cholil kepada MySharing, ditemui usai rapat dengan para petinggi negara membahas tragedi Tolikara, di kantor MUI Pusat Jakarta.

Menurutnya, sekalipun dua pelaku sudah tertangkap, namun mereka hanyalah petugas lapangan bukan otak intelektual penyerangan tragedi Tolikara pada Jumat 17 Juli 2015 lalu. Tim investigas, lanjutnya, menemukan selain penyerangan dengan batu, ada panah juga, pasti ada tokoh intelektualnya, hukum harus ditegakkan.

Kembali ia menegaskan, tokoh intelektual juga berperan dalam sebuah peraturan yang dikeluarkan yakni melarang umat Muslim berdagang di hari Minggu, tidak boleh melaksanakan shalat Idul Fitri di Tolikara, harus di Wamena atau Jayapura.” Kan nggak mungkin dalam satu negara ada bagian yang bukan strukstur pemerintah. Bukan bupati atau camat, tapi kok membuat surat larangan orang lain untuk beribadah,” kata Cholil.

Menurutnya, ini merupakan tindakan yang melanggar hukum, umat Islam yang diserang, umat Islam adalah korban. Sehingga, MUI meminta kalau Tolikara sudah kondusif, ya otak intelektualnya segera ditangkap dan diadili. Karena, tegasnya, berkaca juga dari kasus Bitung Menado, yang pada malam takbiran Idul Fitri 1436 Hijriyah, para pemuda Islam dilempari batu oleh pemuda Kristen. Malah yang ditangkap pemuda Islam dimalam takbiran itu.

“Mereka sampai sekarang masih ditahan, malah mau diarahkan ke Undang-Undang Terorisme. Kita menuntut keadilan pemerintah supaya membuka mata, sadar bahwa yang tidak toleran itu adalah umat Kristen. Umat Islam kan toleran,” tegas Cholil.

Di Bali misalnya, kata Cholil, waktu perayaan Nyepi tidak boleh azdan pakai speker, tidak boleh pasang lampu, umat Islam taat mengikuti aturan itu sebagai sikap toleransi. Kemudian air port juga ditutup, coba berapa kerugian mungkin mencapai puluhan miliar. “Itu sudah menjadi negara Hindu dalam NKRI,” tukasnya.

MUI, kata Cholil, meminta pemerintah untuk membereskan semua masalah jangan hanya Tolikara. Misalnya di Manukwari ada masjid kena tsunami sudah puluhan tahun mau direnovasi nggak ada izin dari Walikota. “Apa alasannya kok nggak ada izin? Mereka selalu mengatakan pribumi-pribumi adalah Kristen. Padahal di Papua hampir 50 persen umat Muslim, banyak orang Papua memeluk Islam,” tukasnya.

Cholil menilai, jika umat Muslim pelakunya, pihak kepolisian akan cepat menangkap dan langsung divonis sebagai terorisme, namun dalam kasus Tolikara seolah pemerintah takut mengungkap. Padahal, tindakan mereka sangat jelas menteror umat Muslim yang shalat Idul Fitri, sampai mereka membatalkan shalatnya berlari menyelematkan diri. Kios-kiosnya pun dibakar, begitu pula masjidnya.

Namun demikian, kata Cholil, dalam rapat di kantor MUI Pusat Jakarta, pada petinggi negara menyatakan bahwa yang dibakar adalah kios-kiosnya bukan masjid. Masjid itu terbakar karena lokasinya berdekatan dengan kios yang dibakar sehingga merembet. “Sebetulnya terbakar dan dibakar itu sama saja. Mereka bakar kios berarti bakar masjid. Mereka harusnya bilang jangan bakar kios nanti merambat ke masjid. Ini ada pembiaran,” ujarnya.

Menurut Cholil, tindakan tersebut sebenarnya terorisme yang mengarah pada sparatisme. Mestinya dikenakan UU terorisme pada mereka. Sementara umat Islam baru diduga terorisme saja sudah ditembak mati. “Ini kan diskriminasi. Kita minta pemerintah yang sebagian besar adalah beragama Islam tidak diskriminatif, jangan umat Islam yang menjadi korban disalahkan. Sekarang kan menyebar dimana-mana umat Islam toleransi menjaga gereja saat natal,” ujarnya.

Cholis menilai ada tekanan dari pihak asing dengan ditemukannya gambar bendera Israel di rumah-rumah warga Tolikara. Bahkan, kata dia, sangat ironis jika warga tidak menggambar bendera tersebut di rumah atau dikios akan dikenakan denda Rp 500.000. Cholil pun mempertanyakan, peraturan macam apa ini, berarti negara Israel dalam negara Indonesia. Padahal Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel.”Saya kira pemerintah harus melihat satu hal yang sangat berbahaya bagi NKRI,” tukasnya.


0 komentar:

Posting Komentar

Welcome on Our Website, Thanks for Join and Let You follow Us.