Kamis, 16 Juli 2015
PENERAPAN SISTEM EKONOMI ISLAM SEIRING BERKEMBANGNYA SISTEM EKONOMI KONVENSIONAL PADA MASYARAKAT ISLAM INDONESIA
Pendahuluan
Sebagai peta kehidupan manusia, konsep ekonomi Islam sudah ada semenjak kehadiran agama Islam di atas bumi ini. Al Quran dan Al Hadits kaya akan hukum-hukum dan pengarahan kebijakan ekonomi yang harus diambil dan disesuaikan dengan perkembangan zaman serta perbedaan kawasan regional (Said, 2007: 21).
Ekonomi Islam sesungguhnya secara inheren merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah di peluk secara kafah dan komprehensif oleh umatnya. Islam menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan keislamannya dalam seluruh aspek kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal, seorang muslim yang menjalankan sholat lima waktu, lalu dalam kesempatan lain ia juga melakukan transaksi keuangan yang menyimpang dari ajaran Islam (Mustafa, 2007: 2).
Tulisan ini berangkat dari fenomena menjamurnya sistem ekonomi barat atau konvensional yang di dalamnya jauh dari kaidah-kaidah Islam, padahal kita ketahui penduduk Muslim terbanyak di dunia adalah Indonesia yang seharusnya dalam segala aspek kehidupannya termasuk aspek ekonomi harus berdasarkan kaidah Al Quran dan Al Hadits.
Pengertian Ekonomi
Ekonomi adalah pengetahuan tentang peristiwa dan persoalan yang berkaitan dengan upaya manusia secara perorangan atau pribadi, atau kelompok, keluarga, suku bangsa, organisasi, negara dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas yang dihadapkan pada sumber daya pemuas yang terbatas. Secara etimologi istilah ekonomi dari bahasa Yunani “oikonomia” yang terdiri dari kata “oikos” berarti rumah tangga dan “nomos” yang berarti aturan. Kata “oikonomia” mengandung arti aturan yang berlaku untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam suatu rumah tangga. Dalam bahasa Arab ekonomi sepadan dengan kata اقتصد “Iqtishad” yang artinya umat yang pertengahan, atau bisa juga menggunakan rezeki atau sumber daya yang ada di sekitar kita (Ismail, 2009: 1).
Menurut Dr. Muhammad Abdullah al-‘Arabi, ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang kita simpulkan dari al-Qur,an dan as-Sunah, dan merupakan bagian perekonomian yang kita dirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai tiap lingkungan dan masa. (Mardani, 2011: 1). Ia terangkan bahwa ekonomi Islam terdiri dari dua bagian: salah satu tetap, sedang yang lain dapat berubah-ubah.
Yang pertama adalah yang diistilahkan dengan “sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari Al Quran dan As-Sunah”, yang ada hubungannya dengan urusan-urusan ekonomi, semisal firman Allah Taala:
الذ ي خلق لكم ما فى الارض جميعا هو
"Dia lah Allah yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untukmu” (Al Baqarah: 29).
Ayat ini meletakkan prinsip ekonomi yang paling penting, memutuskan bahwa segala cara usaha asalnya adalah boleh.
و ا حل ىلله البيع و حر م الربا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”(Al Baqarah: 275).
Ayat ini meletakkan fungsi umum, yaitu dihalalkannya berjual beli dan diharamkannya riba.
Dan firman-Nya
كى لا يكون دولة بين الاغنياءمنكم. . . .
“. . .Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu sekalian” (Al-Hasyr: 7)
Firman ini meletakkan kaidah umum, dengan memutuskan pemimpin harus dapat mengembalikan distribusi kekayaan dalam masyarakat manakala tidak ada keseimbangan di antara mereka yang dipimpinnya.
Ciri asas prinsip-prinsip umum adalah bahwa prinsip-prinsip ini tidak berubah ataupun berganti serta cocok untuk setiap saat dan tempat, tanpa peduli dengan tingkat kemajuan ekonomi dalam masyarakat.
Yang kedua adalah “Bangunan perekonomian yang kita dirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa”.
Dengan kata tersebut di atas ia maksudkan cara-cara penyesuain atau penyelesaian masalah ekonomi yang dapat dicapai oleh para ahli dalam Negara Islam, sesuai dan sebagai pelaksanaan dari prinsip-prinsip yang lalu itu. Seperti keterangan tentang riba yang diharamkan, batas harta yang cukup hubungannya dengan zakat dan sebagainya.
Perbedaan Dasar Sistem Ekonomi Islam Dan Konvensional
Perbedaan dasar antara ekonomi Islam dan Konvensional boleh dilihat dari beberapa sudut yaitu:
1. Sumber (Epistemology)
Sebagai sebuah addin yang syumul, sumbernya berasaskan kepada sumber yang mutlak yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Kedudukan sumber yang mutlak ini menjadikan Islam itu sebagai suatu agama (addin) yang istimewa dibanding dengan agama-agama ciptaan lain. Al Qur’an dan As Sunnah ini menyuruh kita mempraktikkkan ajaran wahyu tersebut dalam semua aspek kehidupan termasuk soal muamalah. Perkara-perkara muamalah dijelaskan di dalam wahyu yang melipiti suruhan dan larangan.
Suruhan seperti makan dan minum menjelaskan tentang tuntutan keperluan asasi manusia. Penjelasan Allah SWT tentang kejadian-Nya untuk dimanfaatkan oleh manusia (QS. Yasin ayat 34-35, 72-73) (QS. an-Nahl ayat 5-8, 14, 80) menunjukkan bahwa alam ini disediakan begitu untuk manusia sebagai khalifah Allah SWT (QS. al-Baqarah ayat 30).
Larangan-larangan Allah seperti riba (QS al-Baqarah ayat 275) perniagaan babi, arak, dan lain-lain karena perkara-perkara tersebut mencerobohi fungsi manusia sebagai khalifah tadi. Kesemuanya itu menjurus kepada suatu tujuan yaitu pembangunan seimbang rohani dan jasmani berasaskan tauhid.
Sedangkan ekonomi konvensional tidak bersumber atau berlandaskan wahyu. Oleh karena itu, ia lahir dari pemikiran manusia yang bisa berubah berdasarkan waktu atau masa sehingga diperlukan maklumat yang baru. Kalau ada ketikanya diambil dari wahyu tetapi akal memprosesnya mengikuti selera manusia sendiri karena tujuannya mendapat pengiktirafan manusia bukan mengambil pengiktirafan Allah SWT. Itu bedanya antara sumber wahyu dengan sumber akal manusia atau juga dikenal sebagai falsafah yang lepas bebas dari ikatan wahyu.
2. Tujuan Kehidupan
Tujuan ekonomi Islam membawa pada konsep al-falah (kejayaan) di dunia dan di akhirat, sedangkan ekonomi sekuler untuk kepuasan di dunia saja. Para pakar ekonomi konvensional mencoba menyelesaikan segala permasalahan yang timbul tanpa ada pertimbangan-pertimbangan mengenai soal ketuhanan dan keakhiratan tetapi lebih mengutamakan untuk kemudahan manusia di dunia saja.
3. Konsep Harta Sebagai Wasilah
Di dalam Islam harta bukanlah sebagai tujuan hidup tetapi sekedar wasilah atau perantara bagi mewujudkan perintah Allah SWT. Tujuan hidup yang sebenarnya adalah seperti firman Allah SWT. QS Al-An’am ayat 162:
قل ان صلا تي و نسكي و محماي ومماتي لله رب العا لمين
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku untuk Allah, Tuhan semesta alam”.
Merealisasikan perintah Allah SWT yang sebenarnya ini akan membawa kepada ketenangan hidup yang hakiki. Setiap Muslim percaya bahwa Allah SWT merupakan Pencipta yang memberikan ketenangan hakiki. Maka dari itu harta bukanlah tujuan utama kehidupan tetapi sebagai jalan mencapai nikmat di dunia hingga ke alam akhirat.
Ini berbeda dengan ekonomi konvensional yang meletakkan keduniaan sebagai tujuan yang tidak ada kaitannya dengan Tuhan dan akhirat sama sekali. Ini sudah tentu berlawanan dengan Islam. Mereka membentuk sistem yang mengikuti selera nafsu mereka guna memuaskan kehendak materiil mereka semata. Oleh karena itu sistem konvensional memiliki tujuan keuntungan tanpa mempedulikan nilai wahyu, maka mereka mementingkan kepentingan individu atau kepentingan golongan-golongan tertentu serta menindas golongan atau individu yang lemah dan berprinsip siapa kuat dialah yang berkuasa (survival at the fittest) (Mustafa, 2007: 8-10).
Mudanya Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi, di negara-negara Barat, merupakan ilmu yang relatif masih muda timbunya. Hal itu karena ia baru mulai dipelajari orang-orang sejak akhir abad ke delapan belas. Sejak saat itu Eropa mulai melewati perkembangan yang dalam di segi-segi soasial, politik dan ekonomi. Dan itu semua merupakan kesan dari masing-masing revolusi Perancis dan revolusi Industri (Abu dan Anshori, 1980: 5-13).
Kontribusi kaum Muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Buku-buku teks ekonomi Barat hampir tidak pernah menyebutkan peranan kaum Muslimin ini. Menurut Chapra, meskipun sebagian kesalahan terletak di tangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum Muslimin, namun Barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia.
Para sejarawan Barat telah menulis sejarah ekonomi dengan sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif. Sebagai contoh, sejarawan sekaligus ekonomi terkemuka, Joseph Schumpeter, sama sekali mengabaikan peranan kaum Muslimin. Ia memulai penulisan sejarah ekonominya dari para filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St. Thomas Aquinas (1225-1274M).
Adalah hal yang sangat sulit untuk dipahami mengapa para ilmuwan Barat tidak menyadari bahwa sejarah pengetahuan merupakan suatu proses yang berkesinambungan, yang dibangun di atas fondasi yang di letakkan para ilmuwan generasi sebelumnya. Jika proses evolusi ini disadari dengan sepenuhnya, menurut Chapra, Schumpeter mungkin tidak mengasumsikan adanya kesenjangan yang besar selama 500 tahun , tetapi mencoba menemukan fondasi di atas mana para ilmuwan Skolastik dan Barat mendirikan bagunan intelektual mereka.
Sebaliknya, meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, kaum Muslimin tidak lupa mengakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India, dan Cina. Hal ini sekaligus mengindikasikan inklusivitas para cendekiawan Muslim masa lalu terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Sejalan dengan ajaran Islam tentang pemberdayaan akal pikiran dengan tetap berpegang teguh pada Al-quran dan hadits nabi, konsep dan teori ekonomi dalam Islam pada hakikatnya merupakan respon para cendekiawan Muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Ini juga berarti bahwa pemikiran ekonomi Islam seusia Islam itu sendiri.
Berbagai praktik dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah Saw dan al-khulafa ar-Rasyidin merupakan contoh empiris yang dijadikan pijakan bagi para cendekiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori ekonominya. Satu hal yang jelas, fokus perhatian mereka tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan , yang tidak lain merupakan objek utama yang menginspirasikan pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal (Adiwarman, 2006: 8-10).
Konstribusi Ilmuwan dalam Ekonomi Islam
Schumpeter (1954) menulis sebuah buku yang berjudul History of Economic Analysis seperti yang dikutip oleh Muhammad Imaduddin. Buku tersebut memuat pondasi dan pemikiran dasar ilmu ekonomi dan perkembangannya. Dalam bukunya tersebut, ia menjelaskan sejarah perkembangan ekonomi yang terjadi di dunia. Hal yang menarik adalah setelah akhir masa keemasan Graceo Roma di abad ke-8 masehi, sangat sedikit ditemukan pemikiran dan teori ekonomi yang signifikan dihasilkan oleh ilmuwan, bahkan masa ini berjalan hingga abad ke-13 yang ditandai dengan masa St. Aquinas (1225-1274 M). Selama kurang lebih lima abad tersebut, tidak begitu banyak teori dan karya ekonomi yang dihasilkan oleh para pemikir di dunia barat. Schumpeter bahkan menyebutnya sebagai Great Gap, atau terjadi jurang atau jarak yang besar di antara dunia Barat dan dunia Timur.
Apabila ditelliti lebih dalam mengenai hal dimaksud, maka ditemukan bahwa pada masa kegelapan dunia barat terhadap dunia keilmuan, dan sains maka pada saat itu pengaruh gereja sangat kental terasa, yaitu mereka membatasi para ahli dan ilmuwan untuk menghasilkan karya ilmiah, termasuk karya dibidang ekonomi. Bahkan, seseorang dapat dianggap membelot dari ajaran Tuhan bila mempunyai pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gereja, dan hukuman mati akan diberikan kepadanya. Pada abad kegelapan tersebut dunia Barat mengalami kemunduran di bidang keilmuan. Di sisi lain, ditemukan bahwa abad kegelapan yang dialami oleh dunia Barat justru berbanding terbalik dengan perkembangan keilmuan pada dunia Timur (Islam). Pada masa tersebut adalah masa keemasan umat Islam, yaitu banyak para ilmuwan Muslim berhasil memberikan karya-karya ilmiah yang signifikan, salah satunya dalam perkembangan dunia ilmu ekonomi. Banyak ilmuwan Muslim yang menulis, meneliti, dan menghasilkan teori-teori ekonomi yang hasilnya hingga sekarang masih relevan untuk dipelajari dan diterapkan oleh penduduk yang mendiami Negara Republik Indonesia.
Beberapa ilmuwan Muslim yang berhasil menghasilkan karya fenomenal pada teori ekonomi di antaranya adalah Ibnu Taimiyyah, Ibnu Rushd, Ibnu Khaldun, Al-Ghazali, dan masih banyak lagi. Ibnu Taimiyyah, misalnya, berhasil mengeluarkan teori yang dikenal dengan price volatility atau naik turunnya harga di pasar. Dia menyatakan : “Penyebab naik turunnya harga di pasar bukan hanya karena ada ketidakadilan yang disebabkan oleh orang atau pihak tertentu, tetapi juga karena panjang singkatnya masa produksi (Khalq) suatu komoditi. Sehingga dia menghasilkan hukum permintaan dan penawaran (supply and demand) di pasar, yang kini justru secara ironi diakui sebagai teori yang berasal dari dunia Barat.
Tokoh lainnya yang berhasil memberikan kontribusi besar adalah Ibnu Rusyd. Roger E. Backhouse (2002), menulis sebuah buku yang berjudul The Penguin History of Economic. Ibnu Rusyd menghasilkan sebuah teori dengan memperkenalkan fungsi keempat dari uang, yaitu alat simpan daya beli dari konsumen, yang menekankan bahwa uang dapat digunakan kapan saja oleh konsumen untuk membeli keperluan hidupnya. Sebelumnya, Aristoteles menyebutkan bahwa fungsi uang itu ada tiga, sebagai alat tukar, alat mengukur nilai dan sebagai cadangan untuk konsumsi di masa depan.
Ibnu Rusyd juga membantah teori Aristoteles tentang nilai uang, yaitu nilai uang tidak boleh berubah-ubah. Karena itu, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa uang itu tidak boleh berubah karena dua alasan. Pertama uang berfungsi sebagai alat untuk mengukur nilai, maka sama seperti Allah SWT yang Maha Pengukur, Dia pun tidak berubah-ubah, maka uang sebagai pengukur keadaannya tidak boleh berubah. Kedua, uang berfungsi sebagai cadangan untuk konsumsi masa depan, maka perubahan padanya sangatlah tidak adil. Dengan kedua alasan tersebut, sesungguhnya nilai nominal uang itu harus sama dengan nilai intrinsiknya.
Tokoh selanjutnya adalah Al-Ghazali yang menyatakn bahwa kebutuhan hidup manusi itu terdiri atas tiga, yaitu kebutuhan primer, (darruriyyah), sekunder (hajiat), dan kebutuhan mewah (takhsiniyat). Teori hierarki kebutuhan ini kemudian di ambil oleh William Nassau Senior yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia itu terdiri atas kebutuhan dasar (necessity), sekunder (decency), dan kebutuhan tersier (luxury). Al-Ghazali juga menyatakan bahwa tujuan utama penerapan syariah adalah masalah religi atau agama, kehidupan, pemikiran, keturunan, dan harta kekayaan yang bersangkutan dengan masalah ekonomi.
Masih banyak karya lainnya yang dihasilkan oleh para ilmuwan Muslim terhadap perkembangan ilmu ekonomi. Hal yang menyedihkan justru teori-teori mereka diklaim berasal dari Barat, pertama kali dihasilkan oleh seorang professor dari University of Glasgow yang bernama Adam Smith pada bukunya And Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations. Buku tersebut dihasilkan pada abad ke-18 yang bahkan isinya banyak terdapat kemiripan dengan buka Muqaddimah karya Ibnu Khaldun yang dihasilkan beberapa abad sebelumnya. Kontribusi besar para ilmuwan ekonomi Islam yang diuraikan di atas, dapat dijadikan acuan untuk terus belajar dan menghasilkan karya-karya signifikan, baik dalam bidang ilmu ekonomi, maupun ilmu lainnya sesuai dengan keahlian masing-masing, sehingga terwujud cita-cita dari para pendiri Negara Republik Indonesia, yang di antaranya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Faktor-Faktor Penyebab Pudarnya Penerapan Sistem Ekonomi Islam pada Masyarakat Muslim
1. Minimnya Kebutuhan
Tahap pertama kedatangan Islam, kebutuhan masyarakat akan pemikiran dan legalitas transaksi dalam kegiatan ekonomi belum begitu menggelora. Hal tersebut disebabkan mekanisme kehidupan yang ada masih sangat sederhana dan belum banyak terjadi perkembangan-perkembangan pada sektor-sektor perekonomian dalam menghasilkan barang dan jasa. Keadaan tersebut juga di dukung oleh para pelaku ekonomi yang masih kental dengan nilai ketaqwaan dan kezuhudan serta konsistensi mereka dalam menjalankan nilai-nilai syariah dalam kehidupan sosial (bermuamalah).
2. Stagnasi Pemikiran
Pada masa-masa awal renaissance Islam, banyak melahirkan kitab-kitab tafsir, hadits, fiqh, dan ilmu pengetahuan tentang elaborasi pemikiran ekonomi Islam. Namun, di penghujung abad ke-4 Hijriah, masyarakat Islam mengalami perpecahan sehingga menjadi beberapa komunitas masyarakat kecil yang beragam. Kondisi perpecahan itu berdampak yang cukup besar pada kemunduran umat Islam. Terlebih dengan runtuhnya kekhalifahan yang semakin menambah kerapuhan peradaban Islam. Mekanisme pemerintahan dan perekonomian yang ada setelah itu jauh dari nilai-nilai syariah. Dalam kehidupan masyarakat telah terjadi dekadensi moral yang berdampak pada turunnya semangat keagamaan yang diiringi dengan kecintaan terhadap kenikmatan dunia dan kekuasaan.
Distorsi kehidupan politik dan ekonomi di masyarakat sangat mempengaruhi pemikiran para ulama, sehingga intelektualisasi yang ada tidak mampu menjawab dinamika kehidupan ekonomi. Pada akhirnya tradisi pemikiran dan intelektualitas dalam mengakomodasi peroblematika kehidupan yang ada mengalami stagnasi.
3. Perang Eksternal
Di penghujung abad ke-4 Hijriah, penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati) telah meracuni masyarakat muslim. Masyarakat Muslim cenderung menggandrungi kekuasaan dan kekayaan duniawi, sehingga menyebabkan terpecahnya umat Islam menjadi bagian-bagian kecil komunitas masyarakat. Masing-masing komunitas tersebut saling berselisih, berseturu dan bermusuhan. Keadaan tersebut merupakan peluang emas nagi negara asing untuk melakukan ekspansi daerah jajahan. Komunitas masyarakat Muslim menjadi sasaran tembak bagi kaum salib dalam memperoleh daerah jajahannya. Invasi militer tersebut dilakukan pada akhir abad ke-5 Hijriah, dan berhasil menguasai wilayah Syam. Dengan adanya peperangan ini, menyebabkan terjadinya kehancuran dan kerusakan seluruh infrastruktur kehidupan. Pada pertengahan abad ke-7 Hijriah, masyarakat Muslim mengalami penjajahan dalam segala aspek kehidupan baik politik, sosial, ekonomi, budaya, dan pemikiran. Hal tersebut merupakan obstacle (penghalang) bagi perkembangan pemikiran Islam dan kehidupan ekonomi Islam.
4. Kemajuan Industri Eropa Dan Amerika
Perkembangan perindustrian dan teknologi di Eropa dan Amerika menstimulasi terhadap perkembangan pemahaman ekonomi serta mekanisme dan sistem yang di terapkan mereka. Perkembangan tersebut menyebabkan kemunduran perekonomian dan teknologi bagi masyarakat Muslim. Perkembangan teknologi dan perekonomian dalam masyarakat Muslim menjadi terhegemoni dengan Negara Barat. Akhirnya, negara-negara Muslim menjadi negara dunia ketiga (Said, 2007: 26-29).
Menurut Umar Chapra (2001) seperti yang dikutip Merza Gamal kemunduran umat Islam dimulai sejak abad ke-12 yang ditandai dengan kemerosotan moralitas, hilangnya dinamika dalam Islam setelah munculnya dogmatisme dan kekakuan berpikir, kemunduran dalam aktivitas intelektual dan keilmuan, pemberontakan lokal dan perpecahan di antara umat, peperangan dan serangan dari pihak luar, terciptanya ketidakseimbangan keuangan dan kehilangan rasa aman terhadap kehidupan dan kekayaan, dan faktor-faktor yang mencapai puncaknya pada abad ke-16, yaitu pada masa Dinasti Mamluk Ciscassiyah yang penuh korupsi, sehingga mempercepat proses kemunduran tersebut.
Kemajuan dan kemunduran yang dialami oleh umat Islam itu bukanlah seperti sebuah garis lurus, tetapi naik-turun dan berlangsung beberapa abad lamanya. Berbagai upaya dan usaha telah dilakukan oleh umat Islam untuk menghentikan kemunduran itu, namun karena sebab utama tetap ada, maka kemerosotan terus berlangsung hingga saat ini.Faktor utama untuk menghindari kemunduran tersebut adalah kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya yang berorientasi kepada falah oriented, yaitu menuju kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat (Zainuddin,2008:44)
Simpulan
Umat Islam harus mewujudkan keislamannya dalam segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan ekonomi. Karena sesungguhnya, umat Islam telah memiliki sistem ekonomi tersendiri di mana garis-garis besarnya telah digambarkan secara utuh dalam Al-Qur’an dan A-Sunnah. Wajarlah kita sebagai umat Islam, melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi sesuai dengan aturan dan kaidah Islam. Haruslah diakui perkembangan peradaban hingga saat ini sangatlah luar biasa. Demikian pula pola kehidupan sangat lah kompleks. Sehingga umat islam pada umumnya dan ilmuwan Muslim pada khususnya perlu sangat proaktif dalam upaya melakukan revitalisasi konsep-konsep muamalah, melalui penggalian nilai-nilai yang ada dalam Al-Quran dan A-Sunnah.
Daftar Pustaka
Azwar K. Adiwarman. 2006. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Marthon S. Said. 2007. Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Ekonomi Global. Jakarta: Zikrul.
Mardani. 2011. Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Muhammad A. dan Karim A. Fathi. 1980. Sistem Ekonomi Islam Prinsip-Prinsip dan Tujuannya. Terjemahan oleh Ahmad, Abu dan Umar S. Anshori. Semarang: PT Bina Ilmu.
Nasution E. Mustafa. 2007. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana.
Nawawi, Ismail. 2009. Ekonomi Islam: Perspektif Teori, Sistem dan Aspek Hukum. Surabaya: ITS Press.
Zainudin. 2008. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Welcome on Our Website, Thanks for Join and Let You follow Us.