Minggu, 27 Desember 2015
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN, TANTANGAN ATAU ANCAMAN ???
MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) kian marak dibincangkan akhir-akhir ini seiring dengan berbagai persiapan yang dilakukan pemerintah untuk menyongsong pelaksanaannya 2015 mendatang. MEA adalah salah satu keputusan dalam Declaration of ASEAN Concord II yang diselenggarakan di Bali pada 7 Oktober 2003.
Ini dilakukan sebagai realisasi dari keinginan para pemimpin Negara ASEAN pada KTT ASEAN di kuala lumpur Desember 1997 yang memutuskan untuk mentransformasikan ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata serta kesenjangan sosial ekonomi dan kemiskinan yang semakin berkurang.
Menarik untuk mengkaji lebih jauh terkait tujuan MEA yang digembar-gemborkan secara ekonomi akan membawa KESEJAHTERAAN bagi masyarakat Indonesia. Sebab masyarakat masih menilai positif program ini, sementara jika ditelaah lebih dalam justru program ini akan MENYENGSARAKAN masyarakat. Artinya masyarakat pada umumnya masih melihat dengan kacamata tantangan padahal hakikatnya MEA adalah sebuah ANCAMAN.
MEA akan mengarahkan ASEAN memiliki 4 karakteristik utama, yakni : (a) sebagai pasar tunggal dan basis produksi, (b) sebagai kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, (c) sebagai kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan (d) sebagai kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global.
Karakteristik-karakteristik tersebut memiliki kaitan erat dan saling memperkuat satu sama lainnya.
Tetapi benarkah dengan karakteristik diatas ASEAN akan mampu menjadi kawasan dengan kondisi ekonomi yang stabil dan mampu MENGURANGI KEMISKINAN???
PASAR BEBAS ASEAN: UNTUK KEPENTINGAN SIAPA?
Menilik 4 karakteristik utama yang akan dikembangkan dalam MEA, sebenarnya yang menjadi tujuan akhir adalah terwujudnya perdagangan bebas di ASEAN. Ini terlihat dari karakteristik ke-4 yang menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global.
Ekonomi global saat ini memang diarahkan menuju sebuah bentuk pasar bebas sebagaimana yang digagas WTO dan tercantum dalam Bogor Goals tahun 1994.
Adapun jika saat ini karakteristik pertama lebih banyak dibahas, sebenarnya itu tak lebih dari sekadar upaya persiapan menuju ke pasar bebas. Sebab sebagai pasar tunggal yang berbasis produksi nantinya ASEAN harus memiliki lima elemen utama yaitu:
(i) Aliran bebas barang, (ii) Aliran bebas jasa, (iii) Aliran bebas investasi, (iv) Aliran modal yang lebih bebas, serta (v) Aliran bebas tenaga kerja terampil.
Karena itu, bukan hal yang tidak penting membahas karakteristik yang pertama, tapi yang jauh lebih penting adalah membahas UNTUK SIAPA sebenarnya desain pasar bebas itu? Sebab jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan DIMANA POSISI Indonesia sebenarnya. Dan jawaban ini akan menentukan BAGAIMANA SEHARUSNYA sikap bangsa ini?
Dalam pasar bebas semua pihak diberikan kebebasan untuk melakukan persaingan. Tidak ada pembatasan apapun, siapa yang ingin bersaing dipersilakan untuk masuk ke pasar tersebut. Ibarat bermain tinju, semuanya bisa masuk ke ring tinju tanpa memperhatikan kelas-kelasnya, apakah kelas berat, kelas ringan ataupun kelas terbang. Semua dipersilakan bermain dan bertanding secara langsung. Maka sangat mudah dipahami siapa yang kuat dialah yang akan memenangkan pertandingan.
Contoh lain yang lebih mudah dipahami adalah jika di sebuah kampung ada 100 toko kelontong yang kecil-kecil kemudian tiba-tiba dibangun sebuah mall. Maka seiring dengan berjalannya waktu, mau-tidak mau, toko-toko kelontong tersebut satu persatu akan gulung tikar.
Demikian pula sebenarnya yang terjadi dalam pasar bebas nantinya. Perusahaan-perusahaan kelas gajah milik asing akan ikut bermain dan bersaing bersama dengan perusahaan-perusahaan kelas pelanduk milik masyarakat bawah. Bisa ditebak, sesuai dengan pepatah jika dua gajah bertarung maka pelanduk mati ditengah-tengah. Artinya, fenomena persaingan di pasar bebas hanya berlaku untuk perusahaan raksasa di tingkat nasional dan internasional saja. Bukan persaingan bebas untuk rakyat semuanya yang hanya memiliki perusahaan di kelas “gurem”.
Logika ini sangat jelas terlihat dalam fakta ketika ACFTA diterapkan beberapa tahun yang lalu. Menteri Perindustrian MS Hidayat pernah mengungkapkan indikasi kerugian implementasi ACFTA antara lain menurunnya produksi (industri) sekitar 25-50 persen, penurunan penjualan di pasar domestik 10-25 persen, dan penurunan keuntungan 10-25 persen. Selain itu juga pengurangan tenaga kerja 10-25 persen. Berdasarkan data dari Institute for Global Justice (IGJ), penerapan ACFTA sejak 2005 telah menimbulkan berbagai persoalan perdagangan dan industri.
Selama periode 2005-2010, total impor dari China meningkat sebesar 226,32 persen. Komposisinya mencapai 20,32 persen dari total impor Indonesia. Data tersebut menunjukkan sepanjang 2006-2008 tercatat 1.650 industri bangkrut karena tidak sanggup bersaing dengan membanjirnya produk China di pasar dalam negeri. Akibatnya, sebanyak 140.584 tenaga kerja terpaksa kehilangan pekerjaan karena perusahaan gulung tikar.
Bidang Pertanian yang telah terlebih dahulu mengalami liberalisasi juga menunjukkan hasil serupa. Bahkan di negara agraris ini, usaha bidang pertanian justru tidak memberikan harapan menjanjikan. Akibatnya banyak petani yang tidak mau lagi bertani. Dalam 10 tahun terakhr jumlah petani terus menyusut. Menurut data BPS, jumlah petani pada 2003 lalu masih mencapai 31,17 juta orang. Namun hingga pertengahan tahun 2013 ini, jumlahnya sudah menurun menjadi 26,13 juta orang. Ini berarti dalam sepuluh tahun terakhir ada penurunan jumlah petani sebesar 5,04 juta orang atau ada penurunan 1,75 persen per tahun.
Penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian mengalami penurunan dari 40,61 juta orang di tahun 2004 menjadi 39,96 juta orang pada 2013. Sementara itu, persentasenya menurun dari 43,33 persen di 2004 menjadi 35,05 persen di 2013.
Bahkan Clinton sendiri pun pernah mengungkapkan hal senada dengan mengatakan, “Sesungguhnya blok-blok perdagangan itu lebih penting daripada blok-blok militer. Saat ini posisi ekonomi di dunia telah menggantikan posisi politik. Oleh karena itu Amerika membentuk Dewan Ekonomi Nasional yang serupa dengan Dewan Keamanan Nasional” (Sebab-sebab kegoncangan pasar modal, PTI).
Negarawan AS, Henry Clay, menyatakan, “Sebagaimana kita, bangsa-bangsa lain tahu, apa yang kita maksud dengan ‘perdagangan bebas’ tidak lebih dan tidak kurang dari keuntungan besar yang kita nikmati, untuk mendapatkan monopoli dalam segala pasar produksi kita, dan mencegah mereka agar tidak menjadi negara produsen.” (Mitos-mitos Palsu Ciptaan Barat, Adnan Khan, hal 71). Jadi jelaslah bahwa pasar bebas adalah tujuan utama Barat untuk mengeruk keuntungan yang sebesar besarnya dari kawasan ASEAN.
PEMERATAAN EKONOMI, BENARKAH AKAN TERWUJUD?
Sebagaimana disampaikan diatas ASEAN akan menjadi pasar tunggal yang berbasis produksi. Dan untuk menjadi pasar tunggal berbasis produksi, maka hambatan-hambatan yang membuat aliran barang, jasa, modal, investasi, dan tenaga trampil tersendat di kawasan ASEAN harus dihilangkan secepatnya. Untuk itu penghapusan tarif dan non tarif adalah hal pertama yang diupayakan, kemudian diikuti berbagai program lainnya hingga akhirnya tercipta ASEAN single window.
Seiring dengan hal tersebut pemerintah Indonesia tidak ingin dikatakan tidak siap menghadapi MEA. Dirjen Kerjasama ASEAN menyatakan bahwa, “Indonesia tidak lagi memiliki waktu untuk menjadi defensive, tapi bagaimana agar bisa jadi offensive” (kemlu 23/3/13). Karena itu pemerintah Indonesia berpacu (baca: terpaksa) membenahi berbagai hal dengan tujuan membentuk daya saing Indonesia menghadapi derasnya serbuan barang, jasa dan tenaga trampil asing yang akan masuk. Artinya pemerintah ingin meyakinkan masyarakat, termasuk para pemangku kepentingan dan grassroot bahwa pembentukan MEA bermanfaat bagi mereka.
Padahal pasar tunggal sebagai konsekuensi liberalisasi ekonomi akan meniscayakan migrasi pekerja secara masif di lingkungan ASEAN. Kondisi ini akan berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan laten antara pekerja – pengusaha – pemerintah (tripartit). Karena itu kalangan perguruan tinggi secara khusus diminta menyusun strategi dalam proyek-proyek untuk mensukseskan program tersebut, termasuk mempersiapkan tenaga kerja, baik terdidik maupun tidak, yang mampu bersaing dari negara tetangga manapun, termasuk Singapura dan Malaysia.
Lahirlah berbagai program dan kebijakan untuk hal ini, mulai dari kebijakan yang akan melindungi pekerja dalam negeri, seperti disahkannya UU Keinsinyuran beberapa waktu yang lalu, kemudian kebijakan pengucuran kredit untuk UKM bahkan sampai memberikan program-program pelatihan untuk mendidik tenaga terampil.
Sayangnya pemerintah Indonesia hanya berpikir sesaat saja. Yang penting sudah membuat kebijakan atau program yang seolah pro rakyat. Namun, pemerintah tak pernah sungguh-sungguh berpikir apakah dengan program-program dan kebijakan yang dibuatnya, rakyat benar-benar mendapatkan solusi. Ini ditunjukkan pada salah satu hasil penelitian bertajuk ‘Assessing Private Sector Contributions to Job Creation’ yang diselenggarakan oleh International Finance Corporation (IFC) – lembaga di bawah Bank Dunia – menyatakan bahwa Usaha mikro, menengah dan kecil (UMKM) menghasilkan paling banyak pekerjaan di negara-negara berkembang namun bidang ini kurang produktif, dan memberikan penghasilan yang minim. (http://m.merdeka.com/uang/di-negara-berkembang-umkm-serap-tenaga-kerja-paling-tinggi.html)
Ini menunjukkan bahwa “keterpaksaan” pemerintah meningkatkan daya saing Indonesia untuk mengikuti MEA ternyata menelorkan banyak program dan kebijakan yang justru kontraproduktif. Sebab program dan kebijakan yang ada cenderung mengarah pada industri keatif, industri mikro, pelatihan low skill dan sebagainya. Rakyat takkan mampu bersaing dengan model program dan kebijakan seperti ini.
Apalagi sejak awal kualitas sumber daya manusia Indonesia memang sudah terlategori rendah. sebagaimana ditunjukkan oleh Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang menempati urutan ke-124 dari 182 negara. Ini berarti jika Indonesia memaksakan diri terlibat aktif dalam pasar tenaga kerja terampil maka bisa dipastikan ini justru akan membuahkan pengangguran. Atau jika tidak demikian, akan semakin meningkatkan jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) nonprofesional ke luar negeri.
Artinya yang bakal terjadi, rakyat yang semakin termiskinkan dan akan semakin sulit keluar dari kemiskinannya. Fakta yang sangat jelas ini memang sudah bisa diprediksi. Sebab teori “upah buruh” dalam ekonomi Liberal sangat nyata memperlihatkan kenyataan ini. Dalam teori ekonomi Liberal, upah buruh adalah tetap, tidak bisa dinaikkan dan tidak bisa diturunkan lagi. Sayangnya, nilai upah buruh yang tetap ini ternyata tidak berada di angka yang tinggi, namun di angka yang sangat rendah atau pas-pasan.
Upah buruh tidak bisa dinaikkan. Sebab jika buruh menuntut kenaikan upah dengan berunjuk rasa, misalnya, para pemilik modal hanya akan bereaksi dengan sangat sederhana. Para pengusaha itu hanya akan menunjukkan bahwa diluar sana banyak sekali pengangguran yang antre untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan tersebut. Mereka sangat ingin bekerja dan mereka siap untuk diupah dengan upah berapapun, bahkan lebih rendah daripada upah para buruh pendemo. Walhasil, para pengunjuk rasa akan kembali dengan perasaan kecewa. Begitulah kira-kira yang terjadi.
Upah buruh tidak bisa diturunkan. Upah buruh harus benar-benar cukup untuk kebutuhan fisik minimumnya. Tidak boleh kurang. Jika upahnya kurang untuk kebutuhan fisik minimumnya selama sebulan, maka buruh itu tidak dapat bekerja dalam waktu satu bulan. Mungkin hanya 20 atau 15 hari saja. Tentu yang rugi adalah pengusahanya juga. Jadi dengan logika ini maka upah buruh akan tetap abadi di angka yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik hidupnya saja. Artinya kaum buruh akan tetap berada pada posisi yang melarat secara abadi. Sungguh menyedihkan. Jadi, pemerataan ekonomi yang didengungkan akan terwujud dalam MEA ternyata hanyalah khayalan semata.
MELAWAN IMPERIALISME
Dari pemaparan di atas, sangat gamblang bahwa pasar bebas adalah strategi Barat untuk semakin memperkokoh penjajahan ekonominya di kawasan ASEAN. Tentu hal ini tidak boleh dibiarkan. Apalagi dengan menganggap bahwa MEA adalah suatu TANTANGAN yang BERMAKNA POSITIF. Sebaliknya MEA harus dipandang dari kacamata ancaman, sehingga tidak ada jalan bagi bangsa Barat untuk menguasai kaum muslimin yang mayoritas tinggal di kawasan negara-negara berkembang.
Persatuan kaum muslimin mutlak diperlukan untuk melawan hegemoni Barat ini. Tetapi harus dipahami bahwa persatuan ini bukanlah sekedar berkumpulnya individu untuk menentukan kesamaan sikap terhadap MEA. Sebab hegemoni Barat yang sudah sangat kuat ini tidak mungkin bisa dilawan dengan bersatunya kelompok-kelompok masyarakat, atau berkumpulnya individu-individu atau bahkan berkumpulnya para perempuan.
MEA adalah strategi dari suatu sistem. Maka yang mampu melawannya adalah kekuatan sistem pula, bukan kekuatan kelompok apalagi kekuatan individu. Karena itu menegakkan sebuah sistem yang akan menata perekonomian dunia dengan cara yang tepat adalah suatu keharusan. Dan hal ini hanya bisa dilakukan ketika ada sebuah institusi yang akan menerapkan sistem ekonomi tersebut. Dan Islam yang diterapkan dalam sebuah Negara dengan sistem ekonomi yang diridloi oleh Allah adalah jawaban atas semua ini. Insya Allah.
Wallaahu A’lam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Welcome on Our Website, Thanks for Join and Let You follow Us.