Dalam fiqih kontemporer denda karena terlambat membayar utang atau angsuran utang disebut al-gharamat at-ta’khiriyah atau al-gharamat al-maliyah. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, Maa Laa Yasa’u at-Tajir Jahlahu, hal. 279 & 335; Ali as-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 458).
Para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian membolehkan dan sebagian lagi mengharamkan. Yang membolehkan antara lain berdalil dengan sabda Nabi SAW,”Tindakan menunda pembayaran utang oleh orang kaya adalah suatu kezaliman.” (HR Bukhari). Juga sabda Nabi SAW,”Tindakan orang mampu [menunda pembayaran utangnya] telah menghalalkan kehormatannya dan sanksi kepadanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).
Menurut pihak yang membolehkan, hadits ini menjadi dalil jika orang yang mampu menunda pembayaran utangnya maka ia berhak mendapatkan hukuman, termasuk hukuman denda. Namun mereka menetapkan dua syarat. Pertama, denda ini tidak boleh disyaratkan di awal akad, untuk membedakannya dengan riba jahiliyah (riba nasi’ah). Kedua, denda ini hanya dikenakan bagi yang mampu, tak berlaku bagi yang miskin atau dalam kesulitan. (QS Al-Baqarah : 280). (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 337).
Sedang pihak yang mengharamkan berdalil denda semacam ini mirip dengan riba jahiliyah (riba nasi’ah), yaitu tambahan dari utang yang muncul karena faktor waktu/penundaan. Padahal justru riba inilah yang diharamkan saat Al-Qur’an turun (QS Al-Baqarah : 275). Maka apapun namanya, ia tetap riba, baik diambil dari orang yang mampu atau tidak, baik disyaratkan di awal akad atau tidak. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 338).
Pendapat yang rajih adalah yang mengharamkan. Alasannya : Pertama, meski orang mampu yang menunda pembayaran utang layak dihukum, tapi tak pernah ada sepanjang sejarah Islam seorang pun qadhi (hakim) atau fuqaha yang menjatuhkan hukuman denda. Padahal kasus semacam ini banyak sekali terjadi di berbagi kota di negeri-negeri Islam. Jumhur fuqaha berpendapat hukumannya adalah ta’zir, yaitu ditahan (al-habs) meski sebenarnya boleh saja bentuk ta’zir lainnya. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 338; Ali As-Salus, ibid., hal. 449).
Hal itu karena sudah maklum bahwa pemberi utang hanya berhak atas sejumlah uang yang dipinjamkannya, tidak lebih. Baik ia mendapatkannya tepat pada waktunya atau setelah terjadi penundaan. Tambahan berapa pun yang diambilnya sebagai kompensasi dari penundaan pembayaran tiada lain adalah riba yang diharamkan. (Ali As-Salus, ibid., hal. 449).
Kedua , denda karena terlambat membayar utang mirip dengan riba, maka denda ini dihukumi sama dengan riba sehingga haram diambil. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa qaaraba al-syai’a u’thiya hukmuhu (Apa saja yang mendekati/mirip dengan sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu). (M. Shidqi Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, 9/252). Kesimpulannya, menjatuhkan denda karena terlambat membayar utang atau angsuran utang hukumnya haram karena termasuk riba. Wallahu a’lam.
Senin, 11 April 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Welcome on Our Website, Thanks for Join and Let You follow Us.